Posted By:

    Di penghujung senja yang ciamik nampaknya langit tak membiarkan orange sinarnya mengembara di atas bumi manusia. Langit memerintahkan awan menghitamkan warnanya, melukainya dengan petir dan menjadikan tangis mendalam menetes di bumi manusia.

    Aku tak perduli pada langit, awan dan senja yang saling berebut sanjungan manusia, walaupun kali ini hujan yang menang membasahi segala yang kering, juga tumbuhan juga suatu halte di ujung jalan melengkung menuju sekolah. Suatu halte yang penuh dengan kenangan, iya hanya halte seperti pada umumnya, dipayungi lempengan besi bercat hijau dan bangku yang membujur dari kanan ke kiri kita kira kira 3 meter dengan cat warna kuning.  Papan pengumuman trayek terpasang sejak awal berdiri hingga hari ini, lusuh sudah. Tapi semua yang biasa itu menjadi begitu terkenang, mendalam dan menggerogoti rinduku padamu.

    Sementara Hujan menjatuhi atap hingga berisik air beradu dengan kokohnya besi, tiada orang saat itu.  Hanya mereka para pengendara berseliweran menghindari hujan.

Rintik air, genangan dan petir yang berlomba lomba menyambar bumi. Semua proses alam yang sudah diketahui semua orang. Dan sungguh memang tidak ada yang menarik selain kisah halte dan ruang waktu yang kau sebut rindu. 

    Dimana dulu pertama kali ku pertemukan dengan kau hingga menjadi satu, saling mengisi hati lalu memulai kisah sebagaimana insan mencurahkan cintanya kepada manusia dan berkat halte ini juga kau berbicara perihal perpisahan ; suatu  peristiwa yang mendewasakan manusia, memberikannya ruang untuk menerima jarak yang tak terlampaui ruang dan waktu. Tapi perpisahan adalah suatu hal yang tak tergantikan oleh apapun, tidak ada manusia manapun yang mampu menahanya. Perpisahan merupakan akhir dari segala temu dan awal dari segala rindu. Rindu yang mengembara diantara dalamnya fikir dan hati yang mampu membawa manusia ke dalam luka yang melubangi jalannya waktu. 

    Dengan pisah ini juga aku mampu mempelajari rindu. Aku tak tau bagaimana manusia lain menceritakan rindu, aku punya pendapat sendiri tentang itu. kuambil sebuah catatan harian yang selalu kubawa kemanapun aku pergi dan mulai membacanya, kutuliskan rindu di halaman paling akhir sedang di halaman depan semua terisi tentang catatanmu ; Alby. 

    “Aku bening, maaf aku mungkin akan sedikit cerewet soal rindu. Aku menganggap rindu sebagai sebuah pohon bambu mojuk, iya yang terkenal di china. Setelah benihnya ditebar dia tidak seperti kebanyakan pohon ; dia hanya akan menampilkan tunasnya dalam waktu 5 tahun. Tapi itu bukan penyakit, kurun waktu 5 tahun digunakan mojuk untuk untuk memperkuat akarnya di bawah tanah dan barulah ketika semua sudah siap dimakan melesat ke atas dan tumbuh dengan begitu cepat. Iya rindu hampir seperti itu. Dia tidak pernah terlihat tapi ada didalam, tunasnya hanyalah sebuah serpihan tapi didalam tersebar semua keindahan, kekaguman dan kekuatan akan temu yang terus menerus membujuk. Ketika sebuah rindu telah siap untuk dipuaskan maka cinta ; yang kunamai tunas. Akan membumbung jauh ke atas dan menebar benih lagi dan menebar rindu lagi dan menunggu akar lagi dan menunggu tunas lagi , terus menerus hingga salah satu mati” 

    Kemudian aku buka halaman terakhir menulis tentangmu, tak bermaksud mengeng tapi hanya memastikan ini 1 Januari 2020 sebuah janji darimu ; disini, di halte, di penghujung senja. Kau telah berjanji, dan aku akan menunggumu. Sungguh, sampai kau datang. Namun, hujan belum juga reda, masih saja tak mau mengalah dengan senja dan kau hujan ! yang tak pernah mau mengerti betapa aku ingin sekali lagi menikmati matanya yang runcing dan tangan yang menghangatkan seluruh tubuhku. 

****

    Seorang anak kecil berlari dari arah ruko depan halte dengan plastik berisi koran , mungkin itu dagangnya. Dia tanpa payung dan bersiap menyebrang jalan menuju halte tempatku bersimpuh kenang. Aku hanya menyaksikan dengan tatapan kosongku, dan lebatnya hujan juga membuatku tak sempat mengamati raut wajahnya. Dengan insting seorang anak kecil dia berlari lunglai melewati setengah zebra cross. Aku tetap menyaksikan dia. Namun tiba tiba suara klakson membuyarkan semua hal kosongku. 

    Sebuah mobil sekuat tenaga menghindari anak lelaki pembawa koran hingga mobil itu menutup jalan namun dari belakang menyusul motor dengan kecepatan tinggi menabrak bodi samping mobil sampai pengendara motor terlempar melayang seperti kapas , terhempas mungkin 10 meter dengan kepala mendarat ke aspal terlebih dahulu, ah sayang dia tidak pakai helm. Dia terjatuh di jalan yang berlawanan dari arah dia datang. 

    Tanpa aba aba aku berlari menuju si bocah yang masih terdiam kelu di tengah jalan sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan yang kusut sementara korannya jatuh basah kuyup seperti tubuhnya, juga aku. Dituntunnya ke halte lalu memeluknya sebentar dan mengatakan kamu baik baik saja disini lalu aku berlari lagi menuju si pengendara motor yang terkapar di aspal basah, pengendara mobil tetap didalam, mungkin dia mati gaya atas apa yang sedang iya timpa atau sedang berpikir cara untuk kabur, entah. 

    Sekilas aku melihat dari jarak yang cukup jauh darah kental mengalir bercampur dengan  hujan yang tak mau reda itu. Aku panik, lari untuk memastikan apakah dia masih hidup atau tidak. Semakin dekat dan lagi lagi klakson membuyarkan ku tapi sekarang suara itu dekat, mengarahkan lalu menabrak kakiku yang bergetar hebat. 

    Aku merasa melayang begitu tinggi walau hanya di tempat dan terbang bagai kapas , bagai pengendara yang tadi kusaksikan jatuh. Lalu semuanya hitam. 

***

   selimut putih bergaris biru tipis, gorden hijau, vas bunga kaca lengkap dengan ikan dan kembangnya, satu selang menjegal tangan kiriku. seorang lelaki memandangku dengan mata runcing memelas. Dengan genggaman tangannya ; aku seperti pernah merasakan ini. 

    Kami hanya berdua sudah sekitar lima belas menit mungkin. aku memandangi lelaki itu dengan seksama mencoba mengingatnya. ku palingkan mata lagi ke sekitar, mengamati gorden, selang infus di sebelah kiriku. kasur diangkat hampir setengah tegak yang membuatku mudah melihat seisi ruangan. dia seperti ragu untuk mengatakan sesuatu tapi tiba tiba dengan suara sedikit pelan dan diulang dia memulai berbicara. aku memandangnya untuk kesekian kalinya.

    "Aku Alby, aku Alby bening. masih ingat ?" Matanya berjuangan untuk mendapatkan jawaban iya dariku tapi aku terlalu pusing untuk mencoba mengingatnya. Aku tak memberontak ketika tangannya membelai dahiku. sungguh aneh karena aku tak tau siapa tapi tak ada rasa ingin melawan. Melihat aku masih saja diam di meneruskan. "Ah peduli apa. aku sudah hampir satu jam disini, menunggu kau sadar. Kata dokter memang sebentar lagi. Dan sekarang kau sudah sadar tentunya. semua berjalan baik baik saja menurutku. kau hanya terluka kecil dikepala dan bagian kaki. tapi ku rasa itu tak membuatmu menjadi lemah. Aku membawakan catan harianmu. Orang tuamu yang memberiakan tadi dan kebetulan Ibumu sedang keluar membeli sesuatu, aku ditugaskan disini dan memang ada sesuatu yang harus dilakukan.  Ibumu memintaku membacakan isi catatan harianmu. Mungkin dia berharap kau bisa mengingatnya. Aku akan memulai, kau sudah siap ?" dia melihatku jauh lebih serius dan kini aku mengangguk bingung.

    “Aku akan memulianya seesuai urutan halaman ini. tapi sejujurnya tadi sudah aku buka sedikit dibeberapa halaman secara acak. 13 Mei 2019. Aku tak tau siapa kau, melihatmu di ujung sofa di kafetaria lengkap dengan gitar tua ditanganmu. Kau bermain dan bernyanyi, tanganmu naik dan turun kakimu mengikuti irama gitarmu. Dan satu yang membuatku begitu tertarik. Rambut yang mengganggu matamu dan menyibukan tanganmu untuk menjebaknya ke belakang. Aku mulai jatuh cinta tapi aku tak tau kau siapa"

    “27 Mei 2019. Masih di tempat yang sama dan dengan cara yang sama seperti awal kau memikatku. Tapi kali ini kau sendiri, dengan segala tenaga dan keberanian aku menemuimu di sana. Dekat tapi jauh itu yang kurasa tapi aku sampai di depan matamu tanpa pingsan adalah sebuah anugerah yang sangat besar bagiku dan ku tau namamu saat itu “Alby” tak peduli nama panjang tapi itu nama yang indah” 

    Aku tak mengerti, tapi aku merasa suara pernah mengguncang hatiku. Dan dia meneruskan tanpa bisa dibendung, aku tidak menolak. 

    “1 Juni 2019. Ku dapati aku sedang duduk disampingmu mendengarkan merdu suara gitarmu. Tapi suaramu ya lumayan juga untuk aku yang tak tau sama sekali tentang nada. Kau bernyanyi sebuah lagu lawas. Kau yang memberi tahu, judulnya “Wonderful tonight-eric clapton” saat itu aku jadi mengerti kau suka rock slow dan aku latah mendengarkan musik genre ini di seluruh waktu luang. Hari itu kau buat janji untuk bertemu kembali di kafetaria” selalu ada jeda tarikan nafas panjang disetiap halaman baru.

    “9 Juni 2019. Cappucino dengan gelas alumunium bersanding bersama, sekarang kau lebih banyak bertanya tentangku, berbalik kan ! Hehe. Sayangnya aku sekuat tenaga menjawab secetus mungkin. Tak bermaksud apapun hanya ingin kau lebih penasaran denganku” 

    Aku masih mendengar tanpa melihat matanya. Tatapan ku kosong ke atas

    “30 Juni 2019. Tubuhku bergetar hebat, masih berdiri di depan sebuah ruko di seberang halte. Kau berlutut di hadapanku membawa setangkai bunga. Semoga tidak ada yang menyaksikan. Lalu kau mengucap “Aku Alby, aku jatuh cinta padamu, pada dagumu,pada keberanianmu mendatangiku dan pada semua yang melekat didalam dirimu. Ah, aku gemetar. Bening, aku mencintaimu dan ingin membersamai harimu” dan apalagi yang bisa kulakukan selain menerima bungamu dan yaa, aku tak bisa menjelaskan bagian ini Haha” 

Kudapati matanya berkaca kaca. 

    “2 Juli 2019. Kencan pertama nonton live musik dan pulang basah kuyup tapi aku bangga, kau kenalkan aku ke teman temanmu. Katamu aku seperti orang meninggal 3 hari yang lalu , pucat” 

    “10 Juli 2019. Aku berhasil cerita ke ibu tentang Alby. Tentang bagaimana dia mengutarakan perasaanya dan kencan pertamaku tentu. Ibu hanya tersenyum  tapi ku yakin itu senyum persetujuan. Lalu ibu memberiku sedikit pilihan. Bening harus punya batasan” 

Lalu dia menggelengkan kepala dan mulai tersenyum lagi. Entah kenapa aku lega 

    “Kali ini tidak bertanggal, semoga masih sesuai urutan waktu. Hari hariku kini mendengarkan musik yang sama dengan musikmu. Memikirkanmu adalah sesuatu yang sering menyibukkanku tapi aku mau sedikit berbohong, aku benci kau selalu berputar putar di otaku” 

    “11 Agustus 2019. Huhh kali ini bertanggal “ 

    Dia bergeming dan sedikit rasa jengkel 

    “Kau menelponku dan berbicara dengan tergesa gesa tapi hanya ini yang aku ingat ; Maaf pertemuan besok mungkin dibatalkan, aku harus pergi untuk waktu yang mungkin sedikit lama. Belum sempat aku menjawab sepatah katapun seperti pergi kemana tapi kau menutup telpon dan setelah itu kau tak pernah aktif lagi”  

    “Kali ini juga tak bertanggal. Alby, apa kau tau rasanya rindu ? Atau kau tak pernah merasakannya ? Apa jangan jangan harimu memang sudah tidak lagi berpikir tentang aku ? Sungguh aku seperti orang linglung, aku tak tau kemana kau pergi dan tentu apa yang sedang kau perbuat di sana. Ternyata kau misterius dan ternyata aku hanya tau 1 % mungkin dari segala kehidupanmu. Aku mulai benci, kali ini tak bohong” 

    Dia menundukan kepala mengelus dahinya, seperti sedang menyesali sesuatu.

    “30 Desember 2019. Aku mendapati sebuah massage dari nomor yang tidak ku kenal. Tapi untung dia memperkenalkan diri. Aku hanya menyalin, tidak kurangi atau lebihkan ; Aku Alby, Bening semoga kau tak marah padaku tentu aku akan meminta maaf beribu kali dan sungguh aku tak bisa menjelaskan padamu saat ini. Terlalu panjang dan aku takut kau bosan membacanya tapi aku harap ini kabar baik tapi terserah apa pendapatmu, aku akan pulang dan akan ku ceritakan semuanya. Catat ya, Halte sekolah, di penghujung senja, 1 januari 2020” 

    Di terus membacanya, berhenti hanya untuk memandangku dan mengencangkan genggamannya. Dan anehnya aku menerima begitu saja. 

    “Kali ini juga tanpa tanggal. Tapi ku rasa ini catatan yang tak jauh dari sebelumnya. aku mau bertanya untuk kesekian kalinya padamu ! Pernahkah kau merasakan suatu kematian karena tusukan pisau di dadamu lalu kau tersentak lagi karena tusukan pisau yang kedua ? Itu yang kurasakan, tapi hati ini tetap beranjak mengajakku kesana ! Aku sudah benci tapi tidak dengan hatiku. Jadi sekarang aku membenci ; kau dan hatiku !” 

    Dia berhenti membuka buku kecilnya dengan cepat cepat lalu dikembalikan lagi ke halaman semula. 

    “Sepertinya ini yang terakhir tentangku, tapi di halaman paling ujung ada sebuah tulisan tentang rindu. Sekarang, Aku akan membacakan dengan sedikit keras, maaf. 1 Januari 2020, bersama kebencianku, perasaan yang tak bisa ku jelaskan dan catatan ini aku menemuimu !” 

    Lalu dia menutup buku mungil itu. Menatapku, matanya kembali berkaca kaca mengelus rambutku dan berkata. 

    “Hari ini 5 januari 2020. Aku Alby, kau Bening. Aku juga merindu bening. Semoga kau ingat padaku dan catatan yang pernah kau tuliskan dan aku sungguh mencintaimu, tak peduli sebagai apa kau mengingatku kembali suatu saat nanti tapi kau tetap bening yang mengalir diatas sungai berkelok, berbatu dan menyakitkan. Terimakasih atas rindu yang terus kau bisikan melalui waktu, aku mendengar tapi sudahlah ; kamu boleh lupa tapi rasa di hatimu akan terus abadi. 

****

    Aku tak tau itu kisah siapa yang tadi dibaca dengan sayu. sungguh aku sangat susah mengingat segala hal. sementara dia masih tetap duduk di bangku tepat di samping kasurku. melihatku dengan mata penuh rasa penyesalan. dia tak berbicara lagi aku pun sama hanya pandangan kosong ke segala arah.




0 Komentar