S U L A S T R I

S U L A S T R I

cerita zaman kolonial

Posted By:


SULSATRI

Tujubelas tahun usianya. Mata diagonal seperti kacang almond, putih langsat berambut tebal, hitam. Alis hampir menyatu dari kanan ke kiri menjembatani pangkal hidung dengan dahi, bukan peranakan atau sinyo. Asli pribumi. Tingginya diatas anak seusianya, badanya berisi, maka jadilah kembang di desanya.


Suatu desa di lereng Gunung Bromo dengan kondisi alam yang serba ada, air melimpah, udara tinggal hirup dan tanah yang bisa menumbukan apapun. Desa ini bernama Sumbersuko yang artinya memberikan ketentraman. Mbah Tumenggung dan kawanya yang menjuluki seperti itu. Suko diambil dari kata kembang suko yang melimpah ruah disini tumbuh menghiasi bumi Sumbersuko dan menemani Sulastri menjajahi umurnya.


Dialah sang periang di bawah remangnya cahaya purnama, melempar pecahan genting ke kotak-kotak engklek, menekuk kaki kirinya ke belakang lalu mulai meloncati kotak tanpa terjatuh dan rumbutnya mengombak naik turun mengiringi irama lompatan. Sulastri si periang yang suaranya paling lantang melantunkan tembang cublek cublek sueng, paling pandai menebak sumbunyinya kerikil digenggaman mungil anak desa dan paling cerdik menyembungikan kerikil dari pak empo.



Tidak ada selain apapun yang lebih indah dari hidup Sulastri bahkan surya yang dikelilingi ribuan bintang cemburu melihat Sulastri. Siangnya menebar serbuk dan malamnya menjalar mekar.


Dia sulastri, bersama emaknya lasem berjalan membelah rintik kabut Bromo menyusuri jalan becek tanpa alas. Matanya menyaksikan pribumi dengan jarit sepinggang, telanjang dada dan di atas kepalanya menyunggi tenong berisikan hasil bumi. Kadang tuan kontrolir melintas angkuh dengan dokar hasil korupsi upah buruh tapi lain lagi dia bersepatu. Semua berhenti menundukan kepala tak ada yang berani memandangnya, bisa dibedil. Berjalan tiga kilo meter menuju ladang milik kompeni lalu memetik kopi.


Hingga suatu hari kebahagiaanya punah direnggut adat, jabatan dan harta


“Panggil Opas Sumarjo datang kesini” suruh Haji Sirojhadi kepada bujang pengabdinya

Kemudian dia lari menuju pelataran istana priyayi menjemput Sumarjo dan mengantarakan ke hadapan Haji Sirojhadi


Maaf ndoro, ini Opas Sumarjo” Sumarjo berjalan jongkok, kepalanya menunduk lalu memberi sembah


Ku dengar kau punya perawan yang jadi kembang desa” suaranya berat, perokok tulen.


"Ampun ndoro, hanya anak biasa” tanganya gemetar, tak berani menatap sekalipun


Punya bini berapa ?


Ampun ndoro, sahaya hanya punya satu”


Hanya satu ? laki laki hanya punya satu bini ? Bawa anakmu kemari biar ku peristri, kau mau apa saja akan ku turuti”


Sumarjo semakin gemetar dianatara lantunan kata priyai. Matanya padam seketika, hatinya gusar tak bisa sekalipun menahan darah yang mengalir terlalu deras


“sekarang pulanglah kau, temui istrimu”


Sumarjo menunduk lagi dan memberi sembah lalu jalan berjongkok menghilang dari hadapan Haji Sirojhadi.

***

Tak peduli lagi aku pada bulan, pada angin dan mereka yang riuh diatas pohon. Aku hanyut dalam pikiran Sulastri, perawanku ditawar menjadi anak priyayi, pembesar dan orang kaya. Berjalan dalam dalam gelap memasuki Sumbersuko. Apa saja yang kau mau ? Jabatan ? Semua pribumi menginginkan barang ini, dia rela tirakat, membodohi, saling mencaci demi barang ini dan jabatan adalah suatu kehormatan, harga diri,dan penghidupan, apapun  boleh hancur ; keluarga, nama baik dan dikucilkan asalakan jabatan ada digenggamanya. Dan harta, mustahil manusia tidak merindukan barang ini. Aku masih terus berjalan ke selatan, sorot lentara gapura mengedip tertimpa bayangan pohon. Terus berjalan dalam pikiran tak karuan.  Aku berhenti menatap gapura, tidak, malam ini aku tak akan pulang.


Ranting pohon menggerayangiku kalaupun dia bisa bicara akan berbunyi seperti ini ; harta Sumarjo, jabatan dan penghormatan mana lagi yang tak kau rindukan. Ambilah anakmu serahkan ke priyai. Kau tak perlu lagi menyembah nyembah, nyeker. Kau bisa berpakai eropa, harta Sumarjo.


Aku terus berjalan menyusuri jalan becek, seragam opas masih ku gunakan. Sementara gemercik air terdengar riuh dihadapanku, kutemukan jembatan penghubung desa, ternyata sudah sajuh ini aku melangkah. Kemudian turunlah aku ke kali melepaskan semua pakaian dan membersihkan diri. Semalaman setengah tubuh terendam air, mata terpejam dan merenung mencari petunjuk.

Sampai pagi menjelang ku kenakan lagi seragamku, berjalan kembali ke istana priyayi. Dan di panggilah aku ke dua kalinya


Sudah bilang ke binimu, Sumarjo”


Ampun ndoro, sahaya belum lagi bicara dengan bini sahaya”


Kenapa? tak berani kau ? besok harus sudah ada jawaban kalo tidak kau membayar denda perjanjian kerja karena melanggar perintahku atau kau akan kutuntun dikepolisian atas pelanggaran kontrak. Pergi kau”


Perawakannya tinggi besar, matanya belo dan selalu menggunakan pakaian serba putih menggertak sedemikian menakutkan di hadapan Sumarjo, dia redup tak ada lagi keberanian. Ancaman denda menambah beban dala pikirnya, kebiasaan licik dari para priyayi demi menyenangkan dirinya. Ya seperti inilah kalo sudah berduit apapun bisa dilakukan, Sumarjo tak punya pilihan. Dia beranikan pulang kerumah memintanya kepada Sulastri


Assamualaikum” dengan suara yang sangat lemah tak seperti biasaya


Waalaikumsalam” Lasem menjawab dan membukakan pintu


“Gusti Alloh, kenapa lusuh begini pak” dituntunlah aku menuju amben


“Panggil Sulastri ke sini, suruh dia bawakan air hangat”


Kemudian Sulastri datang menunduk dan jongkok dihadapan bapaknya , sementara emak menyertai


“Las, sudah besar nampaknya. Sudah saatnya diperistri orang” bapak memulai setelah habis satu gelas airnya


Ampun, sahaya belum tertarik pak”


Mau kah kau diperistri pembesar malang, tempat bapakmu bekerja”


Emak langsung melihat ke arah  bapak.


Apa maksudmu, ditawari apa kau sama priyayi itu” sementara Sulastri masih menunduk jangan dengarkan bapakmu las”


Kau akan senang las, hidupmu serba tercukupi tidak seperti saat ini” suara emak tak bapak hiraukan, tapi dia terus membantahnya


Jangan dengarkan bapakmu las, liat mata emakmu ini yang selama ini membesarkanmu” sementara Sulastri terus tertunduk, matanya berkaca-kaca


Bapak sudah tak tau lagi las, bapak dituntut membayar denda perjanjian kontrak jika hal ini tak bapak lakukan”


Berapa denda itu biar aku yang tanggung” emak memotong lagi, sementara Sulastri masih terus terdiam


“Ayo bicaralah las” bapak mendesak


“Sahaya nurut saja apa yang bapak katakan”


Tak ada yang berani melawan seorang laki-laki, dialah segalanya di bumi ini.


Apa yang kau bicarakan, Tarik kata-katamu. Jangan dengarkan betarakala ini” air mata emak tak terbendung


“Alhamdulillah, berbakti kau pada orang tua. Maka akan selamatlah kau dunia dan akhirat. Kapan kiranya  ku anatar ke Haji Sirojhadi”


Diam kau, orang tua macam apa yang sudi menjual anaknya!” emak masih terus membela anaknya sementara Sulastri tak pernah bisa menolak suatu apapun yang di perintah bapaknya, durhaka.


Sudah lah mak, bapak tak perlu antar sahaya. Sayaha akan datang sendiri, tapi biarkan sahaya pergi tirakat barang tentu 3 hari”


“las, apa yang kau bicarakan” tangis semakin emak pecah dalam malam yang sunyi


Bapak mengelus elus rambut sulstri


Dasar betarakala, sudi kau punya jabatan hasil jual anak !”


Sudah mak, biarkan lastri menebus kesalahan bapak. Biar lastri dapatkan ketenangan di akhirat nanti” tangis emak semakin menjadi


Kemudian Sulastri pergi mengambil bekal tirakat didapur. Belati, makanan dan satu bundel uang tabungan


Kemana kau akan pergi las, biar emak anatar” wajahnya pilu dan marah


Tidak mak, biar lastri sendiri”


Malam tak pernah baik untuk perawan las, biarlah mak anatarkan”


Tidak mak” Kemudian dia pamit. Menyium kaki emaknya dan menyembah bapaknya lalu keluar berjalan ke arah timur dengan iringan kisak tangis emaknya.

***

Saat itu wabah pes 1911 menyerang  pesisir Surabaya. Bermula dari impor beras yang dilakuakan pemerintah kolonial dari Burma, sedangkan disana terjadi wabah pes. Dari surabaya beras dikirim melalui jaringan kereta api menuju Malang. Namun pasokan terhenti di malang, hujan dan banjir memotong akses pendistribusian beras.


Aku yang dulu takut pada malam dan desisnya angin tanpa sadar telah berjalan ke timur sejauh 10 kilo meter menuju Distrik Turen. Disana terdapat sebuah desa yang terisolasi. Semua warga tak boleh keluar dan yang diluar tak boleh masuk. Wabah pes sedang menggerayangi, semua perbatasan dusun dipagar bambu dijaga polisi yang terus berpatroli sepanjang malam.


Tidak, aku tidak sendirian, aku bersama keberanian. Sementara hatiku terus nanar. Tubuh anggun ini mengantarkan aku pada betarakala, tubuh anggun ini memang tidak diciptakan untukku, untuk kompeni untuk priyai. Mengapa sedemikian malang nasibku ini gusti, tidak akan ada lagi kembang suko disela telingaku, cublek cublek sueng, engklek aku telah kihalangan dan emak, wajahmu terus menemani anakmu.


Aku berjalan bersama dengan iringan pohon kopi, menembus semak semak belukar. Jaritku telah robek entah tersayat apa. Sekarang gerimis turun, keringat bercampur aduk dengan rintihan air dari langit. Tidak ada yang menarik perhatian semua hanya kegelapan begitu pula perasaan ini.


Dua puluh kilo meter telah terlewatkan tanpa rasa kantuk dan lelah. Kaki ini seoalah terus terkayuh dengan sendirinya, menerabas sawah, rawa dan perkebunan kopi. Sementara lentera pos dusun mulai terlihat. Semakin giat aku berjalan.


Aku telah dekat, mengendap endap sebelum akhirnya loncat melewati pagar bambu. “Gedubrakk” kakiku menginjak sebatang ranting, hampir hampir ketahuan polisi.

       

       Aku telah sampai, disini sangat sunyi dan bau busuk menyengat hidung. Ku masuki salah satu rumah terdekat yang bisa ku jangkau. “Kula nuwun” tidak ada yang menyahut. Aku langsung masuk kedalam, kutemui seoarang perempuan terkapar sendirian, matanya mendelik barang kali seusiaku. Dia kejang sekali lalu diam. Untuk pertama kalinya ku saksikan seorang dalam keadaan sakarotul maut. Kemudian ku luruskan kakinya lalu ku tutup matanya. Tenanglah kau dalam kematianmu


Dua hari aku berada di desa ini, tubuh mulai terasa menggigil, dahi mulai terasa hangat, nampaknya aku sudah mulai terjangki pes. Pada malam yang sunyi pergilah aku ke sumur belakang rumah, bau amis menyertai kemudian mandi dan bersolek bersiap untuk mengantarkan tubuh ini pada Haji Sirojhadi.


Kulalui jalan semula , berjalan secepat maling. Perasaan tak enak pada badan hilang dalam keberanian, terus menyusuri perkebunan kopi, sawah rawa barang kali 23 kilo meter sampailah aku pada jembatan yang menandai perbatasaan desa. Rumah Haji Sirojhadi hanya tinggal 2 kilo. Aku turun ke kali membersihakan diri agar tak pernah terlihat sakit dalam raut wajahku. Lalu berjalan lagi tanpa terhenti.

Tepat jam lima aku berdiri dibawah gapura istana priyayi, hanya opas yang berjaga.


Sahaya Sulastri anak dari Sumarjo, mau bertemu dengan Haji Sirojhadi”


“Oh lastri, ayo langsung masuk saja. Ndoro sudah bangun selapas subuh”


Kami masuk ke dalam istana melewati jalan kecil berhias tanaman di kanan dan kiri kemudia menaiki tangga 3 biji hingga sampai lah di hadapan pintu rumah priyayi.


Sambutlah aku haji, aku datang membawa mautmu.


Tak lama kemudian bujang pengabdi datang dan membawa ke kamar Haji Sirojhadi. 

***

Dua hari setelah nikah syirih adat islam diadakaan. Sumbersuko menjadi begitu mencekam. Haji Sirojhadi terkapar dimakar bersamaku, panas tinggi, muntah darah dan sesak nafas. Menikmati penyakit pes yang terus menggerogoti nyawanya, nyawaku juga. seorang dokter Jawa bersama Tjipto Mangunkusomo mendatangi Malang, termasuk ke rumah sang priyayi. Hanya dia yang berani, tidak ada dokter belanda.



Sumbersuko mati seketika, perkebunan kopi di hentikan, gula dihentikan dan sehari setalah dokter
Jawa datang  Haji Sirojhadi telah mati dalam keserakahan, sedang aku ; damailah dalam kemenangan.


0 Komentar