Ritual Kandang Bubrah

Ritual Kandang Bubrah

Horor, certia horor, cerpen horor

Posted By:


 

Jumat 10 April, 10 hari setelah resepsi dan ku temukan diriku duduk tujuh jam  di atas bangku kereta terbuat dari beludru, hasil kepandaian ilmu eropa. Kereta melaju hampir tanpa hambatan, menembus hutan-hutan jawa yang rimbun, sepi dan sama sekali tak menarik perhatian, sekali melintasi tempat kumuh di Tulungagung. Aku berada dalam gerbong ekonomi yang cukup ramai tidak seperti di gerbong  kelas wahid, terisi mungkin 10 orang di daftar manifest, hanya anak-anak keturunan, pengusaha dan petinggi pemerintah yang sudi memesan tiket. Melintasi Tulungagung kereta menurunkan kecepatnya melewati rel yang di jejali tenda tenda lusuh di kiri dan kanan, di bawahnya berceceran sayuran, buah, beras dan hasil bumi lainya. Berisik pasar tak menembus ke dalam. Melintasnya kereta membuat pusat perhatian tertuju tajam pada kami, hiruk pikuk pasar seketika beradu dengan mesin lokomotif yang menderu-nderu di udara tulungaggung. Entah apa yang mereka katakan pada kami, semoga bukan umpatan.


Aku duduk bersama perempuan bernama Bening Maheswari. Menggunakan jeans high waisted sehingga bisa terlihat jelas pergelangan kakinya, bersih. Setelan baju putih yang dimasukan kedalam celana membuat tubuhnya yang berisi nampak terbentuk, wajahnya seperti kebanyakan peranakan china-indo tirus dan membentuk segitiga terbalik di tambah gaya rambut layer haircut sehingga sering kali menyibukan tanganya untuk mengibaskan rambut.


Ku panggil Bening, dia adalah seorang karyawan di kantor radio. aku mengenalnya saat masih duduk di bangku SMA pada suatu acara festival musik. Sebenarnya bening bukan salah satu pesarta maupun personil dari band kami tapi dia selalu menemani sahabat karibnya saat latihan di studio musik. Dari situlah pertemanan terjalin dari situ pula kembang kembang cinta muncul dan bersemi, terus bersemi hingga mengantarkan kami duduk dalam satu gerbong menuju malang.


Dia tertidur pulas di atas pundakku yang lebar, rambutnya terurai menutupi sebagian wajahnya yang putih. Aku masih terus memperhatikan . Sudah enam tahun semenjak kita menyelesaikan bangku SMA tapi wajahnya belum sepenunya berubah, begitu pula aku dengan gaya yang terinspirasi dari leonardi de caprio saaat memerankan Jack Dowsen di film Titanic.  Kuseka rambutnya, kusap perlahan dibahunya. Dia meringkuskan tubuhnya lebih dalam lagi kearahku. Aku bisa merasakan kenyamanan hadir dalam tidurnya bersama dengan mimpi yang bergelantungan indah.


Satu jam sudah dia tertidur. Kereta terus melaju menembus dinginya malam dan membelah udara, terkadang suara beradunya rel memuai dengan roda kereta menjadi hiasan dan membangunkan bening. Dia memergoki aku sedang mengelus elus bahunya lalu tersenyum lebar.


“Mas, sudah sampe mana kita ?” 


“Malang, barang kali lima belas menit lagi”

*****

 Nyaring suara klakson dibunyikan, menandai kereta akan segera tiba di stasiun pemberhentian, stasiun kota Malang. Letaknya tak jauh dari alun alun bunder, dulu namanya adalah JP Coen plein ; sebagai bentuk penghargaan kekuasan pemerintahan Jan Pieterzoon Coen pada masa kejayaan VOC. Lokasinya yang strategis membuat stasiun yang awal pembuatan hanya berjumlah satu sekarang ditambah lagi.


Ku bangunkan bening yang masih terlelap. Semua orang telah turun dari gerbong, tinggal kami berdua berduyun duyun mengangkat barang bawaan, dua koper jumlahnya, turun dan melompati peron stasiun kemudian berjalan kearah pintu keluar.


“Mas, kita langsung kerumah baru atau isitrahat dulu ?”


“Baiknya kita cari hotel terdekat dulu, sudah terlalu malam.  Kata orang jawa tak baik bagi pengantin baru”


“haha, ya udah aku ikut selama denganmu mas”

    

Kami berjalan kaki menuju hotel terdekat kiranya 450 meter. Dari stasiun berjalan ke arah alun alun melewati taman, menembus dinginya kota malang. Suasana begitu sepi ketika semakin jauh dengan stasiun, hal ini mengingatkan pada kisah sewaktu SMA saat pertama kali kita kencan, kena hujan, pulang terlalu malam dan yang lebih lucunya Bening kena semprot kedua orang tuanya.


“Untung udah nikah ya, jadi ga bakalan dimarahi ibumu haha” Bening hafal betul ledekan ini


“yah mas Gibas introspeksi lah, emang berani dateng kerumah ?” mukanya merah dan dengan cetusnya menjawab


“Eh bukannya kamu yang ngelarang ya ?”


“Bening melarang kan demi kebaikanmu mas, dari pada nanti dibakar warga lebih repot kan ?”


“Walah ngeri juga. Tapi walau dibakar warga jasadku akan memgeluarkan bau harum ketika mati diatas perjuanganmu”


Muka bening tersipu malu tambah memerah yang membuatnya semakin terlihat cantik


“Haha, setiap buaya akan berbicara seperti itu mas, bening sudah kebal dan jangan berlagak seperti leonardi de caprio ”


“Lah jangan salah, buaya itu lambang kesetiaan loh. Makanya adat betawi memakai roti buaya untuk seserahannya”


“Tukang ngarang cerita” Bening masih tak mau kalah.

    

Kami melewati tengah alun alun, disepanjang jalanya berhias rumput, aneka tanaman dan replika bunga matahari lengkap dengan lampu kerlap kerlipnya. Bangku membelah bundaran bejejer sejauh sampai di ujung hanya terpotong tugu yang menjadi ciri khas bundaran. Dari tengah sini kita bisa melihat dua SMA saling berdekatan SMA 4 dan SMA 1. Disisi kiri dari datangnya kami adalah tempat kantor pemerintahan dan DPRD kota Malang. Yah selayaknya alun alun di daerah jawa pasti selalu dikelilingi semacam itu; masjid kadang lapas. 


Hanya butuh enam menit dari stasiun malang untuk sampai di hotel terdekat. Kami pesan kamar termurah yang ada disitu dengan satu kasur king size. Ku jatuhkan badan melepaskan punggungku yang telah kaku duduk selama tujuh jam. Kamar cukup besar untuk harga yang terjangkau dengan berhias lukisan batik kucecwara khas malang. Dua lampu tidur sengaja ditempel di sebalah kiri dan kanan kasur.


 Koper masih tergeletak di ujung kasur, aku sudah terlalu malas untuk membereskan begitu pula bening. Selepas membersihkan badannya dia ikut berbaring di sampingku. Wajahnya terlihat begitu lelah. Dia dekati aku lalu memiringkan tubuhnya menghadapku dan berkata semanis yang selalu ditunggu : Tidurlah Gibas Pakuan suamiku. Lalu tangan kananya dijatuhkan diatas dadaku.

******

Sinar matahari telah datang, berdesakan menjatuhi bumi, menghujani kamar dengan cahaya putihnya. Suara burung pipit menyertai jatuhnya. Dingin dan sejuk menjadi ciri utama kota malang. Sementara Bening istriku masih juga belum terbangun. Dia telah didahului matahari burung dan udara, suatu yang mestinya tak dilewatkan manusia. Suatu yang harus disyukuri, bisa jadi generasi setelahku tak mamupu menikmati kemewahanya ketika saling berkolaborasi. Aku menuju ke kamar mandi membiarkan bening terjaga dalam tidurnya.


Hotel ini disusun bertingkat dua mengitari area kolam renang dan taman. Di depan kamar disediakan dua bangku dan meja besi. Saat itu hotel cukup ramai  terlihat beberapa orang yang sedang berjalan santai mengelilingi taman. Semua bisa terlihat jelas dari sini. Pohon cemara kipas menjadi pagar  pada setiap jalan kecil yang dibuat sementara bunga bunga tersusun berbentuk hati dan lambang hotel.


Aku duduk dan mengamati manusia dengan buminya rokok hampir habis satu batang. Entah semenjak kapan aku candu dengan barang ini, yang jelas bening tidak pernah melarang. Begitupun denganku jangan sampai rokok menjadi pembeda laki-permpuan, siapa yang berhak dan tidak berhak menghisap. Asap ini hanya  soal kesehatan dan bening memang tidak mau menghisap barang seperti ini. Puas aku mengamati lingkungan aku masuk untuk mengambil buku berjudul filosofi teras karya heny manampiring. Barang habis 5 lembar halaman istriku datang.


“Ayo mas keluar beli makan”


Bening sudah rapi, celana kain dan kaos oblong menyertai tubuhnya.


“Lah nanti aja sekalian check out”


“Halah bilang aja males” dia menggerutu dan mukanya memelas


“haha, ya udah ayo”


Selepas makan kami membereskan dan mengecek ulang barang bawaan. Kemudian chek out di jam 11.00 dan langsung menuju rumah baru yang akan kita tinggali barang tentu selamanya. Kami menaiki angkot ke arah Jatim park 2. Sembilan menit naik angkot kemudian turun di pertigaan beringin. Dari situ jalan kaki 10 menit lamanya.


Sesampainya di depan rumah, mbok Piah sudah berjaga terlebih dahulu. Dia adalah perempuan yang ditugaskan oleh majikan lamanya menjaga rumah tersebut selama tiga tahun ditinggalkan. Rumahnya berjarak 500 meter dari tempat ini. Masih sangat kental dengan jawanya. Menggunakan jarit dan batik lengan menggantung tapi tidak menggelasut ataupun menyembah.


“Selamat pagi mas Gibas dan mbak Bening"


“Pagi mbok” Bening menyalami begitupula aku


“gimana kondisi didalam mbok, sudah rapi atau belum ?”


“Wah aman mba tinggal di tempati saja”


Kemudian dia menyerahkan kunci sembari menjelaskan satu persatu. Kami bertiga berjalan masuk ke arah rumah, mbok Piah menerangkan ada beberapa tempat yang belum diselesaikan seperti dapur yang masih bocor dan lampu taman belakang sering nyala mati tapi katanya tukang akan datang sore hari untuk membereskan.


Selesai dengan penjelasan, mbok piah pamit pulang. Rumah yang kubeli bersama Bening merupakan rumah tipe 45 dengan taman kecil di depan dan di belakang rumah. Ketika pertama kali memasuki rumah terasa sangat dingin, ya wajar jarang ditempati. Bisa jadi mbok piah hanya datang menyapu, menyeka debu dan menyala-matikan lamu. Rumah ini memiliki dua kamar, satu berada disamping ruang tamu dan satunya berada dibelakang taman halaman depan. Setiap kamar memiliki kamar mandi tersendiri. Anatara ruang keluarga dan ruang makan ditempatkan terpisah dan disisi kiri terdapat dapur dengan design minimalis. Kebetulan kami membelinya lengkap dengan perabot si pemiliknya dulu. 


kami keluarkan barang dari koper masing masing lalu dimasukkan rapi ke dalam lemari ; berkas-berkas dan baju. Foto-foto didesain seperti ini ; foto saat masih SMA ditaruh di meja dekat kasur lalu diatas kasur baru foto pernikahan. Diruang keluarga berderet foto dari pertama kali bertemu sampai kita menikah berurut ke kiri. Dan semua disertai tanggal. Suatu foto lukisan abstrak bertema jawa peninggalan pemilik kami turunkan dan disimpanan di lemari belakang. Semenetara koleksi buku hanya di tumpuk dimeja kamar. Kami juga menyeting ulang desain ruang keluarga dan ruang makan, seharian mengurus rumah.


Kini senja telah datang. Bening memasak mie instans, karena hanya itu yang kami dapat di sekitar area rumah. Malam pertama di rumah pertama. Suasana begitu sunyi dingin dan tidak seperti dirumah dulu.


“Gimana  rumah ini”


“Seperti rumah pada biasanya bukan, cuman bedanya hari ini bersamamu saja. Tapi cukup jauh dari jalan protokol mas. Jadi sepi banget nuansanya. Minggu depan bening sarankan pulang lagi ke jogja buat ngambil motor”


“Boleh juga, tapi hanya ngambil motor ngga mampir ya”


Jam sepuluh malam kami masuk ke kamar, bening memakai pakaian tidur yang sangat tipis. Sampai menembus pada branya. Nyatanya hal ini meningkatkan gairah seksualku. Dia masih duduk menghadap cermin. Ku dekap tubuhnya dari belakang, dia tersenyum dan menengadahkan kepalanya kearahku.


“ah mas mau mulai lagi ini”


Aku tak menghiraukan kata katanya. Kulucuti pakaian satu demi satu kini tubuhnya benar benar tanpa busana. kususri tanpa terlewatkan satupun. ku jatuhkan tubuhnya di atas kasur dan malam itu menjadi terlalu cepat.

****

Aku dibangunkan oleh riuh suara orang di taman belakang, sekiranya jam 2 pagi. Aku sempatkan keluar, Berjalan perlahan melewati dapur dan ruang makan, lalu ku intip melalui jendela yang tertutup oleh gorden. Sialnya tidak ku temukan suatu apapun. Hanya gesekan bambu jepang yang rimbun tertiup angin dan lampu taman ternyata masih rusak. Aku balikan badan namun tiba tiba pintu depan rumah digedor.


“Dodododor, dododor, dodor” seperti orang terburu buru. Istriku tak menyadari, dia tertidur sangat pulas. Kali ini aku tak mengintip, langsung kubuka saja pintu depan. Ku arahkan pandangan pada pohon asem di depan rumah. Seoarng perempuan berbaju merah memandang ke araku dari seberang jalan. Mukanya pucat,  rambutnya panjang dan duduk menyinden. tak ku sadari langkahku terus mengarah ke pohon asem, keadaan begitu gelap disana, hingga kontras warna baju dan pekatnya malam memunculkan kengerian. Tiba tiba dia tersenyum hingga separoh giginya terlihat berlumur darah. Seketika langsung ku balikan badan menuju kamar.


Dengan perasaan takut dan tidak menyangka hal ini terjadi. Wajah dengan gigi berlumur darah masih terbayang. Sementara bunyi suara kuku dibenturkan pelan di jendela ikut menyertai “tretetetek, tretetetek . Kali ini aku biarkan saja dan mata ini terus terbuka sampai fajar tiba dan Bening terbangun.


“Malam yang menyenangkan bukan. Dan selamat pagi Gibas Pakuan”


“Selamat pagi Bening Maheswari. Lelap tidurmu”


“Terlalu indah mas, hehe”


Kami berdua bangun bersama-sama, membereskan setiap sudut rumah. Tidak ada pria dan wanita dirumah ini yang ada hanya istri dan suami. Bening merapikan ranjang yang berantakan, kemudian keluar mencari bahan untuk dimasak. Sementara aku membersihkan taman mini, menyapu dan mengepel. Semua dilakukan bersama, bagi keluarga kecil ini kedua duanya adalah tulang punggung, tidak ada pemebentukan peran yang monoton dimana semua kerjaan rumah di limpahkan kepada sang istri sementara suami duduk bersanding kopi dan rokok. Yah itu budaya yang tolol bagi kami.


Selepas semua rumah beres kami duduk berdua ditaman belakang dengan dua cangkir kopi menemaninya. Semua terjadi dalam jawa


“Bening percaya kau pada hal hal gaib”


“Sampai saat ini bening belum pernah merasakan, bahkan melihat sekalipun. Tapi biasanya itu terjadi karena ketakutan yang berlebihan mas”


“Tapi bening percaya”


“Antara iya dan tidak, mungkin kalo suatu saat Bening menyaksikan langsung dan itu tidak hanya Bening yang melihat bisa jadi bening akan percaya mas tapi kalo hanya bening sendirian paling halusinasi”


Dia meneruskan


“Habis liat hantu ya mas, hehe”


“Iya ini tepat di sampingku” aku tertawa


“Yah berati tadi malam bercinta sama hantu dong “ bening menimpai dan tawa pecah seketika


“Hari ini kita jadi ke Jatim Park 2 mas”


“Jadi, Habiskan dulu kopinya”


Bening pergi menuju kamar mandi dan ku habiskan satu batang rokok.

*****

Ternyata kejadian aneh ini terus berlanjut. Aku tak tau bening mengalami hal serupa atau tidak. Sebulan kami tinggal di rumah ini perempuan berbaju merah terus mengganggu. Aku tak tau motifnya apa, pernah suatu hari tanggal 19 April.


Sekitar jam 1 pagi aku masih menonton TV acara pertandingan inggris melawan belanda.  Kebetulan gorden jendela taman hanya tertutup sebagian. Kalo dari arah ruang keluarga aku bisa melihat langsung ke bagian taman belakang. Sementara aku masih asik menonton. sebentar melihat ke arah tersebut seperti seorang yang duduk menyampingi jendela dan rambutnya terlihat mengatung dari dalam. Aku masih tidak peduli, hingga pertandingan mencapai half time baru mulai ku amati lagi keanehan di jendela, bentuknya seperti kain pel diberdirikan. Aku sengaja ke dapur sembari mengamati dan mengambil minum. Ketika berada di dapur posisiku membelakangi jendela taman. Selesai menuangkan air ku balikan badan menuju ruang keluarga tapi dari arah jendela ternyata yang ku kira kain pel adalah perempuan berbaju merah seperti diawal ku lihat. Kini mukannya terlihat jelas ; matanya merah, ditempelkan dikaca kemudian tersenyum seperti awal ku lihat. Aku kaget bukan main, gelas tanpa sadar terlempar sampai sampai membangunkan bening.


Kemudian selang tiga hari. Kebetulan bening pamit menginap dirumah teman kantornya karena akan ada event. Kejadian itu berlangsung sekitar jam 12 malam. Seperti biasa sebelum tidur menyempatkan meneruskan bacaan sembari berbaring di  kasur. Lampu utama telah padam tersisa lampu kuning yang redup. Suara gedoran pintu terdengar lagi. Kini dari arah belakang. Ku sudahi bacaan lalu mencoba pergi menghampiri. Namun baru beberapa langkah aku berjalan si perempuan ini menampkan kembali. Dia memunculkan wajahnya secara perlahan di sela sela fentilasi diatas pintu lalu tersenyum melihatkan giginya. Serentak ku tundukan kepala dan kembali ke atas kasur dengan mata terpejam. Kemudian dia hilang lagi entah kemana.


Perempuan ini kalo orang jawa bilang kuntilanak abang,


Kemudian pada akhir bulan april kejadian aneh terulang  lagi tapi kini tidak  menimpaku. Hari itu ada sesi pemotretan malam di studio miliku sehingga mengharuskan pulang agak larut. Bening sudah tertidur dan tidak menyadari suaminya telah pulang. Sebelum tertidur ku sempatkan mengecup kening Bening tapi pada tangan kanannya ada bekas cap telapak tangan, di tambah hawa dingin membuatnya semakin terlihat jelas, merah. Nah paginya sebelum berangkat dia sempat bercerita perihal mimpinya


“semalam aku mimpi aneh mas”


Bening meneruskan


“Jadi didalam mimpi kulihat mbok piah berjalan kearah pohon asem depan rumah kita, dia membawa sesajen ; dupa, kopi, rokok  dan kembang kantil kemudian ada sepotong kepala ayam warnya hitam. Mbok piah melambaikan tanganya padaku  mengisyaratkan untuk menghampirinya. Disitu gelap banget mas, sementara semakin mendekat bau amis terus menyertai. Kulihat betul tetesan darah dari atas pohon menjatuhi kepala ayam. Aku  ragu melanjutkan langkakuh mas. Tapi tiba tiba sesosok perempuan jatuh secepat kilat dihapanku lalu memegangi tangan kananku. Mbok piah lari kerahku melepaskan tangan si perempuan.


“Perempuan itu wujudnya seperti apa ?”


“Mukanya pucat, berbaju merah dan rambutnya panjang. Itu saja yang mampu aku tangkap mas, sebelum aku menjerit dan menutup mata”


Untungnya bening tak menyadari hal aneh di tanganya mungkin sebelum dia bangun bekas cap tanganya sudah tidak ada.


“kamu kecapean kali, tadi malem aku pulang jam 12 lalu mendengarmu mengigau” aku menenangkan


“Mengigau apa mas”


“Katamu begini ; Mas gibas ganteng banget kaya leonardo de caprio, haha” di tengah seriusnya cerita langsung  merubah raut muka jengkel dan aku tertawa lepas.


Dari hasil cerita yang bening paparkan dan apabila hal itu benar. mungkin saja kuntilanak sialan ini punya hajat yang belum terkabul. Hanya mbok piah satu satunya sumber dari segala keanehan ini.


Lalu tepat sebulan kita menempati rumah ini kejadian aneh muncul lagi. Selalu di jam 12 atau di atas itu. Aku sedang mengobrol dengan bening tentang pelangganku yang meminta pemotretan dengan nuansa doraemon,kita berdua tertawa lepas di dalam kamar tapi tiba-tiba suara ketawa lirih menyertai. Dan hening seketika.


“Kau dengar itu mas”


“Dengar, sudahlah mungkin tetangga” mencoba mencairkan keadaan


Seperti diawal kejadian di taman belakang terdengar riuh orang bercerita dan suara ketokan palu yang beradu dengan tombok. Kami berdua benar benar terdiam dikamar, ku amati betul fentilasi diatas pintu.


“Kau berani mengecek mas” tanyanya menegaskan


“Ayo, ambil dulu kain pel dikamar mandi”


Bening berjalan dibelakangku



“Nanti kalo dia maling kamu langsung lari ke dapur ambil pisau ya” kataku


Melewati ruang keluarga  lalu ruang makan. Berhentilah kami didepan jendela taman. Suara bising telah berhenti. Ku buka perlahan gordenya dan betapa terkejutnya kami. Sesosok perempuan itu berdiri dianatara rimbunya bambu jepang sambil tersenyum kearah kami.


“Ya ampun, kau lihat itu” bening langsung meringkuskan kepalanya dipundaku. Lalu kututup  lagi gordenya dan kembali kekamar.


Semua terjadi begitu cepat.


“Mas itu yang ada di mimpi bening”


“iya sudah, kita bahas besok pagi. Sekarang tidurlah, aku yang berjaga”


“janji !”


“Iya, pegang tanganku selama kamu tidur, aku tak akan kemana-mana”


Malam itu aku benar benar tak tidur. Kelopak mataku hitam, matanya sembab. Sebelum berangkat kerja di ruang makan ku ceritakan tentang pengalamanku yang selama ini terpendam. Mulai dari pertama kali aku melihatnya sampe kejadian semalam. Termasuk bekas telapak tangan dimimpi bening. Nasi goreng tak habis setengahpun , tidak ada gairah makan. Bening mengusulkan menemui mbok piah selepas pulang kerja

****

"Jadi begini mbok, ada beberapa keanehan yang terjadi selama satu bulan kami tinggal di rumah baru"  ku ceritkan ulang


Mbok piah menyimak, sorot matanya tidak berada di kata kataku seolah dia sedang tenggalam dalam pikiranya sendiri


"Kami ingin mencari tau apakah ada hubungannya dengan pemilik rumah dulu" Bening menambahi


Mbok piah ragu mengatakan. Namun bening terus mendesak dan akhirnya dia buka suara


"Sebelumnya mbok minta maaf sama mas gibas dan mbak bening, tolong jangan marahi mbok"


Dia menunggu jawaban dari kami namun melihat aku dan bening  tidak meresepon dia meneruskan


"Jadi 5 tahun silam ada seorang keluarga beli tanah dan membangun rumah yang sekarang menjadi rumah mas gibas dan mbak bening. Rumahnya belum semewah sekarang, dulu hanya pake anyaman bambu dan seng seng yang sudah pada reot. Keluarga.."


Nama keluarga itu siapa mbok" Bening memotong


"Darsam dan surati mba"


"Keluarga ini punya usaha mie ayam di pertigaan depan. Usahanya biasa biasa saja, kadang malah sering ngutang ke mbok buat modal jualan. Tapi anehnya baru empat bulan berjalan kang darsam tiba tiba merombak total rumahnya menjadi rumah permanen tapi belum seperti rumah sekarang. Mungkin karena kang darsam merasa pernah saya bantu akhirnya saya di ambil untuk ikut beres beres dirumahnya sementara dia mengurusi mie ayamnya yang semakin maju.


Bening menelisik curiga ke arahku. Menebak nebak apa yang terjadi.


"Dua tahun kemudian rumah itu dirombak lagi seperti bentuk yang sekarang. Mbok masih dipercaya untuk mengurus rumah itu. Namun setelah kang darsam buka cabang baru di tempat plesiran jatim rumah itu ditinggalkan. Kang darsam memberikan titipan kepada mbok. Katanya begini ; Piah, Saya minta tolong untuk jangan sekalipun disebarkan rahasia keluarga kami. Hanya aku, surati dan kamu yang tau persoalan ini. Saya yakin dari awal kamu sudah aneh dan mencurigai, karena pesatnya usaha mie ayam keluarga, nah hari ini sebelum sepenuhnya saya pindah dan rumah ini akan saya jual saya titip amalan ke kamu. Amalan ini adalah amalan kandang bubrah.."


"Kandang bubrah ? Apa itu mbok ?" Bening memotong lagi.


"Kandang bubrah adalah amalan pesugihan dengan syarat merombak rumah setiap tahun, sekalipun rumah itu masih bagus harus tetap di rombak entah itu mengganti gentingnya atau lebih bagus merombak model rumah. Tapi hanya bagian belakang dan depan yang boleh di otak atik sementara samping rumah adalah pantangan. Sebelum merombak rumah, kang darsam harus melakukan ritual potong sapi dan memberikan sesajen berupa dupa, kopi, rokok dan kepala ayam cemani. lalu kang darsam naruh kuntilanak abang di pohon asem


Bening menoleh ke arahku. Lalu kembali menyimak


"Ritual itu sekarang mbok yang menjalankan tapi sejujurnya mbok sudah ngga mau lagi. Mbok bosan, setiap 6 bulan sekali di tanggal ganjil hari kemis legi harus melakukan ritual semacam itu walaupun masih terus dibayar karena harus terus mengurus rumah sampai rumah terjual"


Sejenak mbok piah melihat ke kami dan meneruskan


"Nah sekarang sudah tiga tahun rumah itu sama sekali belum di renovasi dan sebelum mas gibas dan mba bening menempati ada beberapa yang mengontrak rumah itu tapi ya hanya satu bulan sudah keluar lagi, mungkin diganggu.  Kang darsam sendiri sepertinya sudah tidak peduli dengan rumah peninggalanya. Apalagi setelah mendengar rumah itu terjual. Dia sepenuhnya melepaskan"


Bening kembali melihatku kemudian bertanya


"Sebebernya bening nyaman disitu mbok tapi kalo terus terus diganggu juga lama lama risih. Kalo diusir bisa ngga si mbok ?"


"Dua bulan lalu setelah rumah ini terbeli sama mas gibas dan mba bening, mbok ketemu kang darsam, kondisinya mungkin sedang kurang baik mba. Tubunya kering kurus seperti kena penyakit paru. Nah kang darsam bilang : terserah piah mau lakukan amalan kandang bubrah lagi atau tidak karena rumah sudah terjual tapi kuntilanak abang ini ngga bakal pindah kalo ngga diantarkan langsung oleh pemilik barunya ke gunung kawi"


"Berarti kita dong mbok"


Mbok piah mengangguk ragu


"Tapi kenapa kita yang bertanggung jawab mbok, dia yang menggunakan, sementara aku dan mas gibas ngga ada sangkut pautnya dengan kuntilanak ini"


"Mbok juga kurang tau mba. Soalnya kang darsam hanya titip pesan seperti itu"


"Gini aja, lebih baik panggil kang darsam ke sini mbok, biar urusannya selesai, bukan begitu bening? Kira kira mbok piah bisa kan ?  nanti kami bantu menghubungi kang darsamnya"


"Bisa mas. Mbok malahan lebih tenang kalo kang darsam sendiri yang menyelesaikan"


Satu hari setelah obrolan dengan mbok piah gangguang masih terus terjadi malahan semakin intens. Suara tangisan dan bau kantil kadang amis menyertai malam. Aku dan bening hanya bisa pasrah. Kang darsam menjanjikan 2 hari lagi akan datang ke rumah. Hingga aku dan bening memutuskan untuk tidur di studio foto selama sisa hari perjanjian kang darsam.

****

"Tok tok tok. Kula nuwun"


"Iya sebentar. Bening berjalan ke arah pintu lalu mebukanya


"Mbok piah too, mari masuk mbok" dia tidak sendiri, laki laki tua menyertai di belakangnya. Kemudian bening memanggilku untuk menemui sementara dia memebuatkan kopi dan teh"


"Mas gibas ini kang darsam" kata mbok piah membuka. Wajahnya sudah keriput, kelopak matanya terlipat dan kurus kering. Rambutnya juga sudah mulai menipis di tambah lagi dengan jenggot berubannya. Kalo aku tebak kira 50 tahun keatas.


"Oh ini kang darsam to" dia tersenyum dan menyalami . Semua terjadi dalam jawa


"Mas gibas pasti sudah tau tujuan akang kesini. Sebelumnya akang minta maaf sekali kepada keluarga mas gibas. Akang tidak bermaksud membuat sulit atau takut keluarga mas gibas. Tapi dengan kondisi yang sudah sakit sakitan dan barang tentu usia tak lagi lama akang sudah pasrah dengan pantangan yang akang langgar sendiri"


Sebenernya aku ngga mengerti pantangan apa yang dilanggar kang darsam toh aku juga tak tau perjanjiannya


"Ini suguhan seadanya dari keluarga" Bening meletakan di atas meja lalu duduk di sampingku


"Ya aku turut prihatin dengan kondisi akang sekarang. Semoga segera di beri kesembuhan ya kang"


"Iya terimkasih mas gibas"


"Nah sekarang gimana kang, aku dan istriku sudah risih sekali setiap malam.."


"Lukisan yang disini ditaruh mana mas" kang darsam memotong


"Oh iya aku taruh di lemari belakang. Sebentar aku ambil" sementara aku mengambil bening melanjutkan pembicaraanku dan sedikit menguraikan yang terjadi di rumah


"Ini kang" kang darsam mengamati sembari menyeka debu dengan ujung bajunya kemudian bercerita


"Lukisan ini sebenarnya gambaran kebun depan rumah mas gibas. Tapi itu dilukis secara gaib. Jika mas gibas perhatikan ada titik merah di sela sela pohon asem. Nah itu kuntilanak yang menjaga rumah ini"


Kang darsam rupanya tidak memprotes karena lukisan ini tidak dipajang. Aku juga tak butuh penjelesan tentang lukisan itu. Yang kubutuhkan hanya mengusir kuntilanak abang ini.


"Jadi gimana solusinya kang. Mbok piah sendiri bilang  kuntilanak abang bisa pergi kalo aku dan bening yang mengantarkan ke gunung kawi. Tapi kami ngga mau kang pake cara itu."


"Iya akang bisa megerti mas, kalaupun akang jadi mas gibas juga pasti menolak. Tapi hal itu dilakukan kalo akang sudah meninggal. Nah selama akang masih hidup kuntilanak abang ini bisa di pindahkan asalakan atas persetujuan akang dan pemilik barunya serta  mas gibas dan mba bening sudi mengikuti ritual"


Bening menoleh ke arahku. Dia selalu seperti itu kalo ada hal yang kurang sesuai dengan pikirannya. Seolah mengisyaratkan sesuatu


"Ritual semacam apa kang"


" Ritual pemanggilan dan pengambilan kuntilanak abang ini mas gibas"


Dalam benakku "ngga usah dipanggil si sialan itu juga pasti datang" Kang darsam meneruskan


"Tapi tenang saja, mas gibas dan mba bening tidak akan terlibat sepenuhnya hanya sebagai saksi"


Bening menoleh lagi ke arahku. Kemudian membisikan seusatu. " Semua tergantung mas gibas , bening iktu asal kuntilanak abang ini hilang"


"Hmm. Oke lah kang darsam, kapan bisa dikaukan"


"Nanti malam bisa mas , kalo semua syarat terpenuhi" kemudian kang darsam mengeluarkan satu bundel uang, kira kira 2 juta lalu diberikan ke mbok piah dan menyuruhnya pergi kepasar mencari persyaratan

****

Pukul 2 malam kita berempat duduk di depan pohon asem. Mbok piah hanya menggunakan jarit yang diikatkan di pinggangnya sementara tubuh bagian atasnya telanjang bulat dia duduk menyinden. Kang darsam juga hanya menggunaka jelana bahan hitam yang mengatung, duduk bersila disamping mbok piah di barisan depan. Kiranya 2 meter dari pohon asem. Aku dan bening duduk menyinden di belakang mereka dan memegang cangkul.


Sesajen telah lengkap, kepala sapi, kepala ayam cemani, kopi, rokok, dupa kembang kantil, kain mori putih, menyan dan juga lilin merah. Lalu lukisan jawa itu di berdirikan menyender ke pohon asem.


Hening. Kang darsam memulainya. Menyalakan lilin, membakar dupa dan menyan lalu berkomat kamit sembari tangan menyembah. Mbok piah mengikuti tapi dia tidak menyembah hanya menundukan kepalanya.


Beruntung tidak ada orang lewat satupun atau menyaksikan ketololan kami.


Kira kira tiga menit pembacaan ritual dilakukan . Kemudian mbok piah melantunkan nyanyian kidung secara perlahan. Aku ngga tau judulnya apa. Nyanyian kidung terus dilantunkan, bau amis mulai menyertai. Darah tiba tiba menetes jatuh ke kepala ayam cemani dan kepala sapi dari atas pohon. Tidak ada yang boleh menengadahkan kepalanya. Angin bertiup cukup kencang, mbok piah masih ngidung. Sementara kuntilanak abang ini menjatuhkan diri perlahan ke depan kami, dia melayang seperti kapas.


Bening menyikut tanganku. Tanganya menggigil  dan keringat menempeli dahinya, kebetulan rambutnya di ikat kebelakang. Bau amis sangat menyengat. Mbok piah masih terus ngidung. Lalu kang darsam dalam jawa ; lihatlah.


Serentak kami berempat melihat ke arah kuntilakan abang ini.


Aku dan bening hanya terdiam menyaksikan sosok ini dari jarak yang sangat dekat. Dia menggeleng nggelengkan kepalanya perlahan dan terus tersenyum dan memandang ke arah kami. Kemudian tangannya yang hitam mengelus elus kepala sapi, tersenyum dan darahnya tidak berhenti menetes dari giginya. Mbok piah masih terus mengidung.


Kang darsam memusatkan perhatian kepada kuntilanak abang, dia membacakan mantra dan tak lama kemudian kuntilanak abang menangis terendu sendu. Dia menoleh ke belakang melihat lukisan. Terus menangis semakin keras. Kemudian kang darsam berbicara lagi dalam jawa : tutup mata kalian.


Seketika angin bertiup kencang hingga mematikan nayala lilin. Aku dan bening tak tau apa yang terjadi selama 2 manit itu. Mbok piah menyudahi kidungnya lalu kang darsam berbicara lagi dalam jawa : buka mata kalian.


Mbok piah berdiri mengambil lukisan, lalu menyeka bercakan darah dengan pangkal dupa dan menarik dua garis ditengah lukisan laku membungkusnya dengan kain mori putih.


Sementara kang darsam mengambil cangkul yang ku pegang dan mulai menggali tanah di depan pohon asem. Semua sesajen dimasukan ke dalam liang lalu dikubur tanpa diberi tanda.


Sudah selesai mas. Mari kita kembali ke rumah. Bening memberikan jaketnya ke mbok piah yang masih telajang dada. Kejadian itu hanya berlangsung sekitar 20 menit. Aku dan bening tidak bisa berkata apa apa.


Kami berempat duduk dirang tamu. Wajah kang darsam terlihat sangat lelah, keringatnya bercucuran.


Kemudian aku berdiri bersamaan dengan bening. Kita menuju kedapur.


"Bening takut mas"


"Iya nggak papa . Tapi setelah ini kan udah aman. Nanti biar aku suruh mbok piah tidur satu malam di rumah ini"


"Terus kang darsam gimana. Jangan bilang mau mas anterin pulang"


"Engga. Dia nanti suruh tidur di rumah mbok piah aja. Besok pagi baru aku antarkan pulang"


"Sudah bikin minum dulu buat mereka. Aku mau  ke kamar ambil tisu". ku usap usap rambutnya seperti anak kecil dan dia hanya mengangguk.

***

Empat hari setelah ritual itu sudah tidak ada lagi kejadian kejadian aneh dirumah ini. Hari hari berlangsung lebih menyenangkan tapi tiba tiba kabar duka datang dari mbok piah ; kang darsam meninggal.

 

 

 

 

 

 

 

2 Komentars