Tidak, kau dan aku tidak buta
karena pada malam itu kau masih mengumpat pada si lampu redup bahwa remangnya membuat layu. Lalu aku dan kau
berdiri resah dibawahnya, membiarkan menguningi rambutku dan separoh matammu yang juling. Kau menatapku dengan
curiga, ragu dan mulai memerah. Kita sama sama menunggu sajak, hening seperti
dittik nemo dan sama seperti bulan yang menyembunyikan sisi gelapnya kepada
bumi lalu membangun megah cinta melalui ketidaktahuan. Mungkin tidak ada air
mata tapi kau dan aku sudah lama tahu. Hati kita sama sama berdarah.
Sejenak Kita harus menepi.
Pengasingan menjadi pilihan pada halaman pikiran kita untuk lebih reflektif.
Biarlah proses menjungkirbalikan kodratku dan kau. Aku hanya ingin berjalan dan
naik lagi sampai puncak. Agar aku punya catatan hitam dan putih dan agar aku keluar tanpa penyesalan.
Aku berjalan selayaknya punokawan
mengabdi kepada pandawa, selayaknya kawula menyembah pada patihnya, selayaknya
danyang ngruwat pada ratunya dan
selayaknya cinta pada kekasihnya. Kau dan aku harus sampai pada puncak itu. Dan suatu saat nanti kau akan tau betapa kenang ini akan mengoyak oyak sepiku, menjadikan kesibukan dilalu
lintas otaku serta kau akan tahu betapa kenang akan menjadi pembunuh yang
paling mematikan.
Puncak telah diinjak. Dan senyum
kau itu membuat angin tak bertiup, air tak beriak, dan bulan tak benderang. Aku
tak merasakan gravitasi, melayanglah aku mengitari candumu dan aku ingin
memilih menjadi seoarng pelupa agar aku selalu bisa menikmati candu ini seperti
pertama kali. Dan seketika itu aku sadar waktuku tak lama.
Sungguh aku merasakan bualan kau di
atas kemenangan. Kau juga ingin melapaskan suaramu dari atas sana melayang
kedasar lembah seraya bibir kau muncul dan tenggelam mendisi agar tubuh gempal
itu ditopang dahan cemara. Aku tau kau enggan. Dan sungguh aku tidak akan
menggugat. Turunlah, lalu mengembaralah selayaknya pengagum
revolusi perancis.
Lalu, sesaat kau lari pada
pengembaraan, aku tak yakin menyisakan
kebadaian yang kau sedang bangun hanya jarak. Kiranya aku dan kau suatu saat
dan nanti akan tetap belajar dan berpegang teguh pada pepatah “benih yang tidak
sempurna akan punah sebelum berkembang” maka aku akan terus merengek pada
badai untuk menunda bertamu. Tapi apalah dayaku si manusia hasil evolusi yang
menjijihkan. Aku hanyalah bagian dari rantai makanan yang lemah aku takluk pada
badai. Aku patah sejadi jadinya.