Posted By:


BAD WORD BUKAN BARANG BARU
Hardiki Budi Putranto

“Caranya salah bego”
“ Bacot, emang lu bisa ?”
“Dih si anjing, sini gua ajarin”
“Anjing, Babi, Bego, Tolol, Bangsat, fuck, Anjir” kita sebut saja Bad Words,kita semua pernah atau bahkan sering mengucap kata-kata seperti itu. Baik dalam kondisi psikologis yang bahagia maupun sebaliknya. Baik  dalam ruang public atau ruang privat. Baik dalam  sesama tingkatan usia, jenis kelamin dan setatus social atau sebaliknya. Bad Word seperti menjadi  konjungsi atau kata penghubung pada kalimat. Seolah-olah peranya begitu sentral untuk menekankan makna.

Dalam paradigma diakronik badword ini merupakan suatu mekanisme yang melingkar. Artinya dalam perjalanan waktunya tidak ada perubahan mengenai konsep tapi terdapat penambahan dalam metodenya. Konsepnya akan tetap dan sama.  Makna kata “bangsat” pada zaman dahulu masih berlaku di zaman sekarang sebagai makna makian, makna harfiah dan makna kedekatan atau keakraban. Namun metode dalam  penyebarluasan badword mengalami perubahan seiringan berkembangnya zaman. Pada zaman dulu badword akan dengan mudah diucapkan oleh anak dengan tingkatan SMP dan SMA sedangkan pada zaman sekarang badword sudah masuk dalam tingkatan SD.

Globalisasi dan arus modernisme yang dibungkus  budaya kapitalis menjadi sebuah berhala yang mengharuskan semua manusia untuk mengikatakan dirinya pada modernisme.  Siapa yang tidak melakukan maka akan tertinggal, terpinggirkan bahkan eksistensinya tidak diakui. Modernisme ini secara efektif menyebarluaskan badword melalui facebook, twiter dan youtube. Anak akan cenderung menirukan apa yang dia lihat dan dia dengarkan. Hal ini menjadikan pada tingkatan SD penyebarluasan badword tidak lagi melalui teman tapi melalui informasi yang pernah ia dapatkan di social media.

Lalu apakah badword dalam perjalanan waktunya menjadi suatu yang lazim atau sesuatu yang tidak lazim ?

Pierre Bourdieu adalah seorang filsuf bergaya post-strukturalis yang dalam perjalanan keilmuanya dipengaruhi keprihatinan mendasar terhadap lingkungan social dan hasrat terhadap perubahan. Dia menggunakan dialektik anatara internasilasi eksterior dengan ekternalisasi interior. Internalisasi eksterior adalah ketika aktor menyerap peristiwa dari luar dan diinternalisasikan, sedangkan ekternalisasi interior adalah hasil ekspresi yang muncul dari proses internalisasi. Singkatnya, kehidupan sehari-hari manusia adalah menyerap kedalam lalu mengekspresikannya keluar.

Dalam kasus ini internalisasinya adalah peristiwa modernisme dengan banyaknya kata-kata badword di social media, hal ini akan diserap kedalam  lalu diekspresikan sebagai eksternalisasi yang dapat berupa, “wah kelihatnya ketika saya menggunakan badword akan terlihat keren atau ah, badword tidak pantas digunakan untuk interaksi dan lain-lain”. Konsep dialektika ini mengahasilakan suatu teori habitus, modal dan field ( arena ). Habitus nantinya dimainkan difield/arena pertarungan. Lalu perbedaan ekspresi dipengaruhi oleh teori modal.

Habistus adalah nilai-nilai, struktur mental atau kognitif, pengetahuan, mode yang diserap dari lingkungan sekitar. Melalui pola-pola tersebut aktor akan membentuk cara pandang ataupun gaya hidup. Habitus secara objektif merefelsikan umur, jenis kelamin dan kelas social. Setiap aktor memiliki habit atau kebiasaan yang berbeda tergantung dari posisi sosialnya dimasyarakat. Tingkatan yang sama biasanya akan menghasilakn kebiasaan yang sama. Misalkan pada tingkatan guru maka kata-kata badword akan dikurangi intensitasnya. Atau seiringan sengan tingginya peran social dalam masyarakat maka akan semakin hilang budaya badword ini.

Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan social. Disatu pihak habitus adalah struktur yang menstrukturi. Dilain pihak habitus adalah setruktur yang tersetruktur artinya satu setruktur yang distrukturi oleh dunia social.

Dalam habitus memiliki suatu peran yang penting yaitu modal aktor. Mulai dari ekonomi, seberapa besar aktor memiliki sumber ekonomi. Social, seberapa banyak dan jenis relasi social yang dimiliki aktor untuk kepentinganya. Simbolik, yaitu symbol-simbol yang ditonjolkan aktor untuk memainkan peranya dan yang terakhir adalah budaya. Budaya terbentuk selama bertahun-tahun hingga mendarah daging dalam diri seseorang seperti kecenderungan, kemampuan dibedakan dan dapat membedakan benar dan salah, baik dan buruk dll.

Yang terakhir adalah field atau wilayah kehidupan social. Disini habitus dan modal dipertarungkan untuk merebutkan dominasi dan kekuasaan. Produksi strategi yang matang akan memenangkan pertarungan dan menghegomoni kekuatan yang kalah.

Setelah mengetahui teori diatas maka dapat dijelaskan hubungan dari ketiga konsep tersebut. Bahwa habitus bukanlah pemikiraan bawaan, habitus dibentuk dari skema pendidikan, relasi social, pengasuhan dan aktivitas sehari-hari serta berjalan secara halus sehingga aktor tidak menyadari hal ini. Modal mendasari habitus dan habitus mendasari field. Seberapa besat modal yang dimiliki aktor makan secara sepontan field akan menentukan dimana letak aktor tersebut di ruang social.

Kalo kita kaitan dengan kasus ini. Badword bukanlah barang baru, badword sudah ada dizaman dulu dan terus didistribusikan melalui metode metode baru yang tanpa disadari oleh aktor karena kurangnya modal. Globalisasi secara langsung maupun tidak langsung ikut serta dalam mewadahai penyebarluasan badword, mingikis nilai-nilai budaya bangsa serta moralitas generasi sehingga dalam field, badword memenangkan pertarungan dan mendaptakan peranan penting untuk mempengaruhi gaya bahasa individu. Bagi saya ini bukanlah murni kekuarangan intelektual teori modal individu tapi kekalahan system budaya dalam masyarakat. maka lazim tidaknya badword tergantung seberapa jauh kekalahan system budaya yang dimiliki serta dalam konteks apa badword di tuturkan oleh penutur.



1 Komentar