Posted By:


Malangnya Nasibmu Min
Hardiki Budi Putranto

Hati-hati min Bapakmu bekas seorang komunis
Gumaman ini kudengar dari Mbok Tilah seorang tua kriting yang menjadi penggosip kelas wahid di kampungku. Mulanya aku tidak percaya pada pembual brengsek itu, tapi semakin sering terdengar kalimat itu semakin aku penasaran pada keanehan kematian Bapak. Dia hilang secara misterius di malam jumat  selepas sembahyang maghrib.
****
Sore itu berlangsung seperti malam jumat pada minggu-minggu kemarin, semua warga bergegas menyiapkan ritual yang akan disugukan kepada para leluhur yang telah mangkat. Kopi, teh, rokok dan campuran wangi-wangian pelengkap sesajen  sudah siap di hidangkan di meja. Mereka percaya akan kembalinya roh-roh para leluhur untuk meminta jatah surat fateha dan yasin dari anak cucunya, tepat di malam jumat.

Orang-orang desa tak satupun berani keluar dari gubuknya selepas Mbah Sabrang mengumandangkan adzan maghrib. Suasana begitu sepi yang terdengar hanya suara jangkrik dan lantuntan ayat AL-Quran. Cahaya teplok  terlihat menerobos dari celah celah bambu gubuk. Tak ada lampu waktu itu, bahkan desa kami tak tahu menau soal listrik dan cahaya ajaibnya.

Selain tak ada listrik, mitologi Jawa juga mendoktrin orang kampung untuk tetap tinggal di rumah ketika maghrib. “kalo maghrib-maghrib keluar nanti kamu bisa dicuri kalong wewe kalo engga gendurwo” kata Pak Lurah. Seperti itulah tradisi mistika.

Hal yang sama juga dilakukan  oleh keluargaku yang hanya tinggal bertiga. Aku, Bapak dan Ibu. Kami selalu berada dirumah ketika waktu maghrib tiba. Kegiatannya ya sembayang  dan mengaji bersama Bapak. Sedang Ibu selepas sembahyang langsung ke dapur mempersiapkan makan malam.
Bapak yang selalu mengajariku mengaji. Namanya Sarkiman, dia cukup pandai dalam hal agama, walaupun gayanya jauh dari kata priyayi. Tubuhnya pendek kekar , muka lonjong khas dengan alis tebalnya. Selain pandai mengaji setiap kali mau tidur Bapak sering bercerita tentang mbahnya yang pernah berperang melawan belanda dan jepang. Aku begitu suka dengan cerita sejarah walaupun usiaku baru 12 tahun.

Bapak pula yang mengajariku bersawah, membajak, menanam bibit hingga samapai dimana tempat kita menjual beras. Semua di ajarkan Bapak kepadaku, kurasa dia punya banyak harapan kepada anak tunggalnya ini sehingga apapun ilmu yang dia punya selalu diajar kepada anaknya.
Rutinitas seperti ini selalu kami lakukan.  Kami orang Jawa tak mau meninggalakn nilai-nilai yang telah di bangun oleh nenek moyang kami. Mereka pernah berjuang demi generasi barunya. Walau mereka tau generasi baru itu akan melampaui lalu merebut keduduknya.   

Setelah selesai sembahyang dan mengaji biasnya kami makan malam bersama, namun malam itu tidak seperti biasanya, Bapak langsung pamit ke sawah yang jaraknya sekitar 1 kilo dari gubuk kami.

“Saya pamit ngecek sawah ya bu” kata Bapak ke Ibu yang sedang sibuk menyiapkan makan.
“Emang disawah Masih ada kerjaan pak, tumben. Kalo engga ya makan dulu”
Engga bu, mau nutup saluran air, takut sawahnya kebanjiran” sahut Bapak sambari pergi membawa cangkul.

Semenjak kejadian itu kami tak lagi melihat Bapak, yang kami lihat hanyalah cangkul dan bekas telapak sepatu. Anehnya, satu kampung hanya Pak Lurah yang punya sepatu itupun ukurnya tidak sebesar jejak yang ditemukan diarea hilangnya Bapak. Apa benar Bapak diculik dan dituduh sebagai anggota komunis ?

Saat itu marak terjadi penculikan oleh sekelompok orang yang tidak dikenal, mereka membawa pergi para warga yang dituduh sebagai simpatisan atau anggota PKI. Konon katanya, para warga disiksa dan dibunuh lalu diibuang jasadnya entah kemana.  

Ibu tak pernah bercerita apun soal Bapak, yang saya tahu Bapak hanyalah seorang petani yang memiliki beberapa petak sawah. Hidupnya biasa-biasa saja, tidak pernah berurusan dengan Negara atau tentara manapun. Bahkan Bapak tak punya cita-cita, dia hanya ingin hidup ayem tenrem bersama keluarga.  

Kami tak sempat menjelaskan, nasi terlanjur menjadi bubur keluargaku di cap sebagai keturuan PKI, bertahun-tahun kami dikucilkan, tak ada yang mau bersosialisasi, tak ada bantuan apapun dari desa. Sawah yang kini aku garap juga sering gagal panen karena susahnya mencari pupuk dan aliran air. Disisi lain aku tak punya banyak teman, hanya beberapa, salah satunya Mas Pardi. Dialah yang tidak pernah takut denganku walaupun terkadang Ibunya melarang tetapi Mas Pardi tetap setia bermaian denganku.

Aku memanggil mas karena usianya 3 tahun lebih tua dariku.

Kepergian Bapak juga memaksaku untuk bekerja keras mengurus sawah, membantu Ibu mencari rezeki untuk dimakan setiap hari. Kondisi kami begitu miskin antara kami yang tidak layak berjuang atau memang sengaja dimiskinkan. Entahlah, yang jelas aku tetap suka akan kehidupanku untuk mencari misteri siapa sebenarnya Sarkiman.
***
Pagi itu aku dibangunkan oleh sinar matahari yang menembus celah-celah gubuk bambu, begitu pula nyayian burung dan ayam jantan serta kebisingan Ibu di dapur.

Duh le, kalo habis subuh jangan tidur lagi kan jadi kesiangan”
Iya bu, di kamar Sarmin terlalu banyak dedemit, hehe”

Semenjak kepergian Bapak aku hanya tinggl bersama Ibu, mengurus rumah dan sawah. Ibu adalah manuisa yang tidak pernah lupa akan nama anaknya, matanya mencitrakan kelembutan dan kasih sayang. Bagiku dia begitu cantik, dengan hidung mancung dan bibir yang tipis. Tak heran jika Pak Lurah sering datang kemari, sepertinya bernegosiasi dengan Ibu perihal hidup.

Terhitung sudah tiga kali Pak Lurah kemari, persis disetiap malam jumat. Saya hanya menguping apa yang mereka obrolkan, walaupun aku tak maksud tiap kalimat yang mereka lontarkan tapi aku tau arah obrolan itu. Pak Lurah mencoba meminag Ibuku yang selama ini menjadi janda anak satu.  
Warga kampung tak ada yang tau tentang kejadian ini, seperti biasa malam jumat adalah malam yang sacral dikampungku sehingga tak satupun warga berani keluar rumah. Kecurigaanku memuncak kepada Pak Lurah.

Aku tak tahan ingin bercerita hal ini kepada Mas Pardi.

Setelah beberes dari sawah aku berinisiatif mampir ke warung Mbok Tilah, yah si pembual brengsek itu. Aku harus tahan ocehan mak lampir karena hanya di situ aku bisa menemui Mas Pardi.
“lihat lah si anak PKI khas dengan cangkul di pundaknya, paling-paling dia kesini mau bikin kerIbutan, hati-hati nanti kau di bacok” gumam Mbok Tilah kepada warga yang sedang asik ngopi dan ngrokok. Termasuk Mas Pardi.

Walaupun Mas Pardi berkawan denganku Mbok Tilah tidak akan berani membual perihal Pardi. Pardi adalah langganan di warungnya, keluarga Pardi juga sangat dekat dengan Pak Lurah yang menjadikan Mbok Tilah tidak berani ngoceh asal-asalan. Disisi lain Mbok Tilah juga sering mendapatkan bantuan dari desa karena kedekatanya dengan Pardi.

Secara sepontan Mas Pardi langsung beridir dan pergi meninggalkan warung untuk menemuiku, dia tahu maksud kedatanganku. Mas Pardi tidak mengizinkan aku menyentuh warung Mbok Tilah, bahaya katanya.

Besok pagi kita ketemu di pohon beringin dekat area Bapak menghilang mas”
Sepertinya kau sudah dewasa min, mulai ada pikiran-pikiran nyleneh yang mengganggu dirimu”
Ah kau ini mas, ditunggu ya” sahutku sambil berjalan kearah pulang.
***
Sarmin terbangun tidak dikamarnya. Ternyata semalam dia terlelap di amben dekat meja tamu. Tubuhnya Masih kaku karena hawa dingin dan alas tidur yang hanya terbuat dari bambu  disaya-sayat kemudian di keringkan.

Dia masih teringat dengan perjalanan spiritualnya tadi. Sarmin sempat bertemu Bapak, dia diajak berjalan-jalan di area sawah sembari memberi pesan kepada anak tunggalnya itu. “min jaga Ibumu, aku titipkan sawah ini kepada anak terbaiku. Ingat hormati setiap orang, jangan pernah mempunyai kebencian dalam dirimu”

Atas mimpinya Sarmin berfikir cukup lama untuk memaknai pesan dari Bapak, akhirnya dia turun dari tempat itu, suasana masih gelap, jam menunjukan pukul 3 pagi. Sarmin bergegas mengambil wudlu untuk sembahyang malam 2 rokaat, mengobati keresahan atas mimpinya. Ibu masih terlelap dan tidak mengetahui anaknya tidur di amben.

Samapai matahari naik menguningi segala yang ada di muka bumi Sarmin tetap tidak bisa tidur,  masih menerka-nerka apa yang di maksud Bapak. Tapi sudahlah, tak mau berfikiran aneh-aneh, toh pesan yang disampaikan Bapak juga baik dan sudah hamper 3 tahun tak bertemu, rindu itu pasti ada.
Mumpung hari ini mau ngobrol sama Mas Pardi, aku ceritakan saja mimpi ini. Siapa tau dia bisa menebak mimpiku. dia kan dekat sama Pak Lurah, pasti Pak Lurah sudah memeberi tahu banyak hal kepada Mas Pardi. Tidak seperti aku tak tau apa-apa.

Aku berangkat kesawah seperti hari-hari biasa, membawa cangkul dan gorengan buatan Ibu. Berjalan menusuri rumah-rumah warga tanpa sapaan atau candaan apapun. Lalu duduk dibawah pohon beringin sambil menikmati gorengan dan hijaunya hamparan sawah. Anganku mulai melayang-layang.

Andai Bapak tidak keluar waktu itu, mungkin hidupku sudah seberuntung Mas Pardi. Bisa dikenal  dan dekat dengan banyak orang. Sekarang mau mati tak berani, mau hidup tak kuat. Untung ada Ibu yang selalu dibalik layar keluku, dialah orang yang selalu mengajariku kata semangat.

Tiba-tiba lamunanku di buyarkan oleh bisikan Mas Pardi
Ada apa min, sepertinya kau sangat resah”
Eh kamu mas, apa yang terjadi 3 tahun silam”
Panjang min, kerusuhan terjadi di kota. Katanya, para anggota PKI membunuh beberapa jendral negera kita min. suasana menjadi kacau, semua orang takut atas kekejaman PKI”
Lalu apa hubunganya dengan Bapak ? dia tidak membunuh jendral manapun mas, kalo membunuh kodok di sawah baru mungkin”
Hehe, ya semenjak pembunuhan para jendral semua anggota dan orang-orang yang bersimpati kepada PKI juga ikut dIburu min”
“Bapak bukan anggota bahkan bersimpati Mas, saya rasa Bapak juga tidak tau apa itu PKI. Kalaupun  benar PKI membunuh beberapa jendral kenapa harus belas dendam dengan memburu semua anggota bahkan samapai dikampung mas ? kok beberapa dibalas dengan semua ? ini tidak adil”
Pardi tidak menyangka dengan pola pikir Sarmin sejauh itu untuk ukuran anak desa yang dikucilkan.
Yaa aku paham min, kita rakyat kecil tau apa si soal keadlian. Yang bisa dilakukan ya seperti ini, bekerja keras dengan segala kemampuan”
Hmm, benar kerja keras. Oh iya, Pak Lurah sudah tiga kali datang kerumahku mas”
Hah ! ngapain dia ke rumahmu min”
Aku tak paham betul perbincangan Ibu dan Pak Lurah tapi kemungkinan si Pak Lurah tertarik dengan Ibuku. Ini yang menjadikan aku curiga, disaat seluruh orang kampung mengucilkan keluargaku tapi Pak Lurah malah mencuri kesempatan untuk meminang Ibuku ?”
Kenapa harus curiga min, enak too nanti punya Bapak baru seorang lurah, hehe”
Bukan seperti itu mas, kau masih ingat dengan jejak sepatu yang di temukan di dekat area Bapak hilang, saya curiga Pak Lurah yang menyuruh orang untuk menculik Bapak, lalu Pak Lurah bisa bebas meminag Ibuku yang kini menjadi seorang janda”
Husst kau ini min, tak baiklah berbicara sesuatu yang belum tentu benar salahnya”
Entahlah, semoga semua baik-baik saja ya mas”
Aku langsung ke sawah ya mas, soal Pak Lurah tolong jangan disebarkan biar kita saja yang tahu”
Baik min”

Ucapan Sarmin memang ada benarnya, Ibunya cukup cantik usianya juga Masih mudah tak heran jika Pak Lurah kesemsem dengannya. Di kampung ini juga hanya Pak Lurah yang tahu menahu soal data penduduk. Tapi apa mungkin Pak Lurah bertindak seperti itu demi seorang perempuan. Lagi pula Pak Lurah juga punya istri walaupun sampai sekarang belum di karuniai momongan.

Pardi jadi teringat kejadian 3 tahun silam ketika usinya menginjak 15 tahun. Dia bersama Bapak dan Pak Lurah berjalan-jalan diarea sawah. Tujuanya si mau ngecek sawah milik Pak Lurah. Disitu ada pak Sarkiman yang sedang sIbuk membereskan saluran air. Entah apa yang di obrolkan Pak Lurah dengan Pak Sarkiman. Pardi tak sempat mendengar perkataan dari keduanya.

Apa itu ada hubungnya dengan yang dikatakan Sarmin tadi ? ah, aku jadi ikut terbawa pikiran si Sarmin. Tapi tak mungkin kuceritaan hal ini kepada Sarmin dalam kondisi seperti ini. Emosinya Masih labil, aku takut terjadi apa-apa kalau benar Pak Lurah dalang dibalik kematian Pak Sarkiman.

Sejujurnya aku kasihan pada si Sarmin, seharusnya dia bisa menikmati masa mudanya untuk mencari ilmu dan bermain dengan anak-anak desa. Dia begitu baik, hatinya tulus dan kurasa dia juga cukup cerdas. Namun apalah daya, dia terlanjur di cap sebagai keluarga penghianat. Aku juga tak bisa berbuat banyak, yang kulakukan hanya mendengarkan ceritanya dan memberi sedikit harapan-harapan.

Langit sudah mulai memerah, burung-burung juga sudah bergerak pulang ke pohon-pohon tempat dia bisa bertukar kasih. Selesai membersihkan diri di kali aku harus bergegas pulang, hari ini malam jumat. Aku ingin memberi hadiah yasin kepada Bapak. Siapa tahu dia datang kerumah untuk menengoku dan Ibu.

Adzan maghrib dikumandangkan Mbah Sabrang. Kini tak selantang dulu, suaranya semakin merintih, nafasnya pun semakin pendek. Andai aku bisa menggantiakn mbah sabrang sebagai muadzin di musola, sepertinya seru. Aku bisa ikut mengingatkan warga kepada Gusti Alloh.

Selepas sembahyang dan mengaji tiba-tiba Pak Lurah datang lagi ke rumah. Kali ini dia membawa beberapa bingkisan. Aku semakin curiga dengan kondisi seperti ini, ketakukanku juga memuncak. Jangan-jangan ini akal-akalan Pak Lurah untuk menghabisi keluargaku lagi, hal ini memicu kebencianku dengan lurah satu ini.

Aku mengawasi setiap gerak gerik Pak Lurah dari arah dapur. Kebetulan ruang tamu dan dapur tidak ada skat yang membatasi jadi aku bisa bebas melihat setiap pergerakan Pak Lurah. Kalau  Pak Lurah macam-macam sama Ibu aku bisa langsung menegurnya.  Tapi sayang, aku tak bisa mendengar jelas obrolan mereka.

Tiga puluh menit berlalu, Pak Lurah berdiri untuk pamit, setelah tak lagi terlihat punggungnya Sepontan aku langsung menemui Ibu.
Apa yang diminta Pak Lurah bu”
Bukan apa-apa le, hanya ngasih berkat. Habis sukuran katanya”
Lain kali kalo datang malam-malam jangan di terima bu, aku takut ada omongan yang tidak-tidak ke keluarga kita”
Aku beranikan diri berbicara selancang itu dihadapan Ibu.
Iya le”
Sejujurnya aku tak tega melihat Ibu,  dia tak punya teman berbincang, tak pernah bersosialiasi dengan warga, yang dilakukan hanya mengurus rumah dan membatik. Ibu begitu kesepian, teman berbincangnya hanya aku itupun kalo malam hari, di siang hari aku harus ke sawah.

Pada malam malam terntu sering kulihat tangis Ibu, entah apakah dia rindu dengan sosok Sarkiman atau rindu akan kehidupan yang normal. Aku tak berani bertanya, yang kulakukan hanya menenangkan dengan cerita-cerita unik di sawah.

Selain itu, semenjak kepergian Bapak rumah kita menjadi begitu sepi, hanya Pak Lurah yang pernah bertamu kemari. Terkadang aku merindukan tamu, bagi orang Jawa tamu adalah keberkahan. Tapi aku tak bisa terus menerus membiarkan Pak Lurah datang dimalam hari seperti ini.
****
Sebulan berlalu, kini hampir setiap minggu Pak Lurah datang kerumah. Tepat di malam jumat di munggu terkahir aku ingin menegur Pak Lurah untuk tidak bertamu di malam hari, dan benar saja Pak Lurah datang lagi kerumah.

Seperti biasa Pak Lurah kuawasi dari dapur. Aku hanya penasaran pada apa yang sebenarnya mereka obrolakan, sering kali Pak Lurah terlihat tertawa tapi tidak untuk Ibu. Ini menunnjukan bahwa sebenarnya Ibu risih dengan kedatangan Pak Lurah.

Ibu hanya berbicara satu dua kata, kalau tidak yang mengangguk dan menggeleng.
Semakin sering kerumah lagak dan gerak Pak Lurah semakin tidak punya tata karma. Terkadan dia masuk tanpa salam lalu meminta jamuan yang diinginkan dan terkadang dia duduk tidak berhadapan dengan Ibu tapi malahan duduk di samping Ibu. Seperti yang sekarang sedang ku amati, kalau Pak Lurah berani menyentuh Ibu akan ku hajar mukanya.

Pak Lurah mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sepertinya itu sebuah cicin. Lalu Pak Lurah tanpa basa basi langsung memegang tangan Ibu. Spontan aku langsung berdiri, tapi…

“Duaaarrrr !!”

Tiba-tiba pintu rumah kami didobrag  sampai roboh. Sekitar dua orang langsung masuk ke rumah dan melihat tangan Pak Lurah masih memegangi Ibu. Ah dugaanku benar, warga pasti  ada yang melihat kedatangan Pak Lurah di gubukku jadi mereka berenca mengikutinya untuk menggrebek kami. Kini apa yang aku takutkan akan benar-benar terjadi, matilah aku.

“Dasar janda komunis, berani-beraninya kau menggoda Pak Lurah yang sudah beristri, biadab”
“Pelet apa yang kau pakai”

Aku Masih terdiam didapur menyaksikan kejadian itu, Ibu tak bisa berkata apapun hanya menangis sejadi-jadinya.  Dia  menunduk  lalu beberapa detik menatapku. Suasana begitu gaduh semua kata-kata yang paling kotor bisa terdengar di rumahku, hal ini memancing warga kampong untuk melihat apa yang terjadi.

Pak Lurah  tidak membela Ibu dia langsung pindah posisi bersama warga seolah-olah dia memang digoda, cincin yang tadi dikeluarkanya  entah di kemanakan.

Tak terima dengan perlakuan mereka aku berlari ke arah meja tamu, namun belum saja sampai, tiba-tiba sebuah tongkat mengenai pelipis mataku.

“Plaaaak” pikiranku hilang sejenak, aku terjatuh tepat di hadapan Ibu, yang kurasakan hanya ada darah yang mengalir di area wajahku.
“Ibu tak bersalah. Pak Lurah yang setiap malam jumat datang kemari tanpa diminta Ibu”
“Diam kau ! kami tak butuh penjelasan anak PKI”
“Plaaakk” lagi lagi tongkat melayang, kini tepat mengenai punggungku.
“Sarmin !! ku dengar teriakan Ibu memanggilku
“Pak Lurah, jelaskan apa  yang terjadi” tekan Ibu kepada lurah brengsek itu.
“Kau juga, tutup mulutmu !”

Posisiku masih tengkurap dihadapan Ibu. Aku sadar dan masih bisa mendengar setiap kata yang para warga ucapakan serta suara tangis Ibu tapi aku tak begitu bisa melihat, mataku sakit sekali. “Mas Pardi kau benar, mimpi itu bisa jadi melapetaka jika aku menghianatinya, tapi aku membenci Pak Lurah karena dia membahayakan keluarga. Mas datanglah, aku butuh bantuan”   

“Sudah bakar saja dua manusia itu”
“Buang saja di kali, biar dimakan bauaya”
“Dasar penghianat”

Kemudian aku diberdirikan oleh dua orang lalu diikat dan mataku di tutup dengan kain. Aku tak tau apa yang akan mereka perbuat, yang jelas tubuhku dituntun berjalan kearah luar. pikiranku hanya tertuju kepada Ibu.

 “Sudah min, kita sudah berakhir” suara rintihan Ibu terdengar begitu memelas. Aku tak bisa melihat kondisinya, dia hanya terdengar menangis dan meminta ampun.
Aku hanya mengikuti saja arah mereka. Bukan kami pak, Pak Lurah yang setiap malam jumat bertamu, hal itu sudah terjadi semenjak hilangnya bapak. Tapi bukan Ibu yang menggoda, Ibu tak seperti itu.

Perkataanku tak digubris oleh mereka.

Setelah berjalan beberapa meter aku bisa merasakan bahwa sekarang posisiku sudah di luar gubuk dan  dikerumuni orang. Tanpa aba-aba semua warga yang ada disitu memukuliku sampai rasa sakit itu tak kurasakan, tubuhku juga terasa basah entah itu air kencing atau ludah aku tak tahu, keadaanku anatara sadar dan tidak. Lalu selang beberapa menit semua terdiam dan kain dimataku juga di buka.

Ku dengar tangis tersedak-sedak dari Ibu,  suarnya begitu dekat. Benar saja Ibu sudah duduk menyinden di sampingku,  dia hanya menggunakan kemben mukanya menunduk. Mungkin selama aku tak sadarkan diri Ibu ditelanjangi oleh orang-orang kampong tapi aku tak tau apa telah yang mereka perbuat di dalam gubuk.

“min, maafkan Ibu”

“Haha, mampus kau anak PKI dan janda tak tau diri, sudah di untung dulu kami tak mengusir dan merebut sawah milik Bapakmu, sekarang berani-beraninya kau goda orang yang sudah punya istri”
“tanggung kang, buang saja ke sungai” 

Malam jumat itu lagi sepi, tak ada suara jangkrik dengan nyanyian tunggalnya,. Semuanya hanya kata-kata kotor dan hinaan yang terus di lontarkan warga, pukulan demi pukulan masih melayang di tubuhku walaupun tak sebanyak tadi.

kini tubuhku diangkat lagi, dan ditutupkan kain itu lagi kemudian dipanggul dan dibawa. Diarak seperti maling, kudengar tangis Ibu membuntuti. Kami berjalan menyusuri jalan gelap, melewati beberapa rumah lalu menuju hutan dekat didekat desa.

10 menit berjalan, melewati semak-semak, terus berjalan. Aku hanya pasrah, tubuhku tak lagi berasa apapun. Ibu tak lagi menangis, mungkin mulutnya sudah di bungkam kain atau disudah menyerah layaknya aku.

Warga juga sepertinya sangat hati-hati membawa kami. Hampir tidak terdengar suara, aku tak tau Pak Lurah ikut membawa kami atau tidak. Suarnya belum terdengar.

Akhirnya berhentilah kami, gemercik air mengalir menjadi penanda bahwa kami didekat sumber air. Aku ditidurkan tengkurap. Begitupun Ibu.

”Mari kita selesaikan orang-orang ini”
“salah satu mencari batu, dan bambu”

Mereka berkordinasi layaknya pembantai kelas kakap, dalam benak. Jadi siapkah yang kejam ? PKI atau warga warga ini ? mereka tak punya rasa kemanusia, membunuh dengan siksaaan seolah-olah mereka adalah Tuhan yang berhak menentukan kapan nyawa harus pergi.

Tak lama kemudian kedua tangan kami diikatan kesebilah bambu membentuk salib, lalu di bagian perut  diikatkan  batu yang cuku besar. Semua dilakukan oleh warga tanpa penolakan dariku, termasuk Ibu dia sudah tak lagi bersuara semenjak berjalan beberapa meter dari rumah.
Kami kembali di gontong kemudian dilempar…
“Buaaarrr”
Matilah kau komunis !



1 Komentar