Hardiki
Budi Putranto
Hati-hati
min Bapakmu
bekas seorang komunis
Gumaman
ini kudengar dari Mbok Tilah seorang tua kriting yang menjadi penggosip kelas
wahid di kampungku. Mulanya aku tidak percaya pada pembual brengsek itu, tapi
semakin sering terdengar kalimat itu semakin aku penasaran pada keanehan
kematian Bapak. Dia hilang secara misterius di malam jumat selepas sembahyang maghrib.
****
Sore
itu berlangsung seperti malam jumat pada minggu-minggu kemarin, semua warga bergegas
menyiapkan ritual yang akan disugukan kepada para leluhur yang telah mangkat. Kopi,
teh, rokok dan campuran wangi-wangian pelengkap sesajen sudah siap di hidangkan di meja. Mereka
percaya akan kembalinya roh-roh para leluhur untuk meminta jatah surat fateha
dan yasin dari anak cucunya, tepat di malam jumat.
Orang-orang
desa tak satupun berani keluar dari gubuknya selepas Mbah Sabrang mengumandangkan
adzan maghrib. Suasana begitu sepi yang terdengar hanya suara jangkrik dan lantuntan
ayat AL-Quran. Cahaya teplok
terlihat
menerobos dari celah celah bambu gubuk. Tak ada lampu waktu itu, bahkan desa
kami tak tahu menau soal listrik dan cahaya ajaibnya.
Selain
tak ada listrik, mitologi Jawa
juga mendoktrin orang kampung untuk tetap tinggal di rumah ketika maghrib. “kalo
maghrib-maghrib keluar nanti kamu bisa dicuri kalong wewe kalo engga gendurwo”
kata Pak Lurah. Seperti
itulah tradisi mistika.
Hal
yang sama juga dilakukan oleh keluargaku
yang hanya tinggal bertiga. Aku, Bapak dan Ibu. Kami selalu berada dirumah
ketika waktu maghrib tiba. Kegiatannya ya sembayang dan mengaji bersama Bapak. Sedang Ibu selepas
sembahyang langsung ke dapur mempersiapkan makan malam.
Bapak
yang selalu mengajariku mengaji. Namanya Sarkiman, dia cukup pandai dalam hal
agama, walaupun gayanya jauh dari kata priyayi. Tubuhnya pendek kekar , muka
lonjong khas dengan alis tebalnya. Selain pandai mengaji setiap kali mau tidur Bapak
sering bercerita tentang mbahnya
yang pernah
berperang melawan belanda dan jepang. Aku begitu suka dengan cerita sejarah
walaupun usiaku baru 12 tahun.
Bapak
pula yang mengajariku bersawah, membajak, menanam bibit hingga samapai dimana
tempat kita menjual beras. Semua di ajarkan Bapak kepadaku, kurasa dia punya
banyak harapan kepada anak tunggalnya ini sehingga apapun ilmu yang dia punya
selalu diajar kepada anaknya.
Rutinitas
seperti ini selalu kami lakukan. Kami
orang Jawa tak mau meninggalakn nilai-nilai yang telah di bangun oleh nenek
moyang kami. Mereka pernah berjuang demi generasi barunya. Walau mereka tau
generasi baru itu akan melampaui lalu merebut keduduknya.
Setelah
selesai sembahyang
dan mengaji biasnya kami makan malam bersama, namun malam itu tidak seperti
biasanya, Bapak langsung pamit ke sawah yang jaraknya sekitar 1 kilo dari gubuk
kami.
“Saya pamit ngecek sawah ya bu” kata Bapak ke Ibu
yang sedang sibuk
menyiapkan makan.
“Emang
disawah Masih ada kerjaan pak, tumben. Kalo engga ya makan dulu”
“Engga bu, mau nutup
saluran air, takut sawahnya kebanjiran” sahut Bapak sambari pergi membawa
cangkul.
Semenjak
kejadian itu kami tak lagi melihat Bapak, yang kami lihat hanyalah cangkul dan
bekas telapak sepatu. Anehnya, satu kampung hanya Pak Lurah yang punya sepatu
itupun ukurnya tidak sebesar jejak yang ditemukan diarea hilangnya Bapak. Apa
benar Bapak diculik dan dituduh sebagai anggota komunis ?
Saat
itu marak terjadi penculikan oleh sekelompok orang yang tidak dikenal, mereka
membawa pergi para warga yang dituduh sebagai simpatisan atau anggota PKI.
Konon katanya, para warga disiksa dan dibunuh lalu diibuang jasadnya entah
kemana.
Ibu
tak pernah bercerita apun soal Bapak, yang saya tahu Bapak hanyalah seorang
petani yang memiliki beberapa petak sawah. Hidupnya biasa-biasa saja, tidak
pernah berurusan dengan Negara atau tentara manapun. Bahkan Bapak tak punya
cita-cita, dia hanya ingin hidup ayem tenrem bersama keluarga.
Kami
tak sempat menjelaskan, nasi terlanjur menjadi bubur keluargaku di cap sebagai
keturuan PKI, bertahun-tahun kami dikucilkan, tak ada yang mau bersosialisasi,
tak ada bantuan apapun dari desa. Sawah yang kini aku garap juga sering gagal
panen karena susahnya mencari pupuk dan aliran air. Disisi lain aku tak punya
banyak teman, hanya beberapa, salah satunya Mas Pardi. Dialah yang tidak pernah
takut denganku walaupun terkadang Ibunya melarang tetapi Mas Pardi tetap setia
bermaian denganku.
Aku
memanggil mas
karena usianya 3 tahun lebih tua dariku.
Kepergian
Bapak juga memaksaku untuk bekerja keras mengurus sawah, membantu Ibu mencari
rezeki untuk dimakan setiap hari. Kondisi kami begitu miskin antara kami yang
tidak layak berjuang atau memang sengaja dimiskinkan. Entahlah, yang jelas aku
tetap suka akan kehidupanku untuk mencari misteri siapa sebenarnya Sarkiman.
***
Pagi
itu aku dibangunkan oleh sinar matahari yang menembus celah-celah gubuk bambu,
begitu pula nyayian burung dan ayam jantan serta kebisingan Ibu di dapur.
“Duh le, kalo habis subuh
jangan tidur lagi kan jadi kesiangan”
“Iya bu, di kamar Sarmin
terlalu banyak dedemit, hehe”
Semenjak
kepergian Bapak aku hanya tinggl bersama Ibu, mengurus rumah dan sawah. Ibu
adalah manuisa yang tidak pernah lupa akan nama anaknya, matanya mencitrakan
kelembutan dan kasih sayang. Bagiku dia begitu cantik, dengan hidung mancung
dan bibir yang tipis. Tak heran jika Pak Lurah sering datang kemari, sepertinya
bernegosiasi dengan Ibu perihal hidup.
Terhitung
sudah tiga kali Pak Lurah kemari, persis disetiap malam jumat. Saya hanya
menguping apa yang mereka obrolkan, walaupun aku tak maksud tiap kalimat yang
mereka lontarkan tapi aku tau arah obrolan itu. Pak Lurah mencoba meminag Ibuku
yang selama ini menjadi janda anak satu.
Warga
kampung tak ada yang tau tentang kejadian ini, seperti biasa malam jumat adalah
malam yang sacral dikampungku sehingga tak satupun warga berani keluar rumah. Kecurigaanku
memuncak kepada Pak Lurah.
Aku
tak tahan ingin bercerita hal ini kepada Mas Pardi.
Setelah
beberes dari sawah aku berinisiatif mampir ke warung Mbok Tilah, yah si pembual
brengsek itu. Aku harus tahan ocehan mak lampir karena hanya di situ aku bisa
menemui Mas Pardi.
“lihat
lah si anak PKI khas dengan cangkul di pundaknya, paling-paling dia kesini mau
bikin kerIbutan,
hati-hati nanti kau di bacok” gumam Mbok Tilah kepada warga yang sedang asik
ngopi dan ngrokok. Termasuk
Mas Pardi.
Walaupun
Mas Pardi berkawan denganku Mbok Tilah tidak akan berani membual perihal Pardi.
Pardi adalah langganan di warungnya, keluarga Pardi juga sangat dekat dengan Pak
Lurah yang menjadikan Mbok Tilah tidak berani ngoceh asal-asalan. Disisi lain Mbok
Tilah juga sering mendapatkan bantuan dari desa karena kedekatanya dengan Pardi.
Secara
sepontan Mas Pardi langsung beridir dan pergi meninggalkan warung untuk
menemuiku, dia tahu maksud kedatanganku. Mas Pardi tidak mengizinkan aku
menyentuh warung Mbok Tilah, bahaya katanya.
“Besok pagi kita ketemu
di pohon beringin dekat area Bapak menghilang mas”
“Sepertinya kau sudah
dewasa min, mulai ada pikiran-pikiran nyleneh yang mengganggu dirimu”
“Ah kau ini mas, ditunggu ya”
sahutku sambil berjalan kearah pulang.
***
Sarmin
terbangun tidak dikamarnya. Ternyata semalam dia terlelap di amben dekat meja
tamu. Tubuhnya Masih kaku karena hawa dingin dan alas tidur yang hanya terbuat
dari bambu disaya-sayat kemudian di
keringkan.
Dia
masih
teringat dengan perjalanan spiritualnya tadi. Sarmin sempat bertemu Bapak, dia
diajak berjalan-jalan di area sawah sembari memberi pesan kepada anak
tunggalnya itu. “min jaga Ibumu, aku titipkan sawah ini kepada anak terbaiku.
Ingat hormati setiap orang, jangan pernah mempunyai kebencian dalam dirimu”
Atas
mimpinya
Sarmin
berfikir cukup lama untuk memaknai pesan dari Bapak, akhirnya dia turun dari
tempat itu, suasana masih
gelap, jam menunjukan pukul 3 pagi. Sarmin bergegas mengambil wudlu untuk sembahyang
malam 2 rokaat, mengobati keresahan atas mimpinya. Ibu masih terlelap dan tidak
mengetahui anaknya tidur di amben.
Samapai
matahari naik menguningi segala yang ada di muka bumi Sarmin tetap tidak bisa
tidur, masih menerka-nerka apa
yang di maksud Bapak. Tapi sudahlah, tak mau berfikiran aneh-aneh, toh pesan
yang disampaikan Bapak juga baik dan sudah hamper 3 tahun tak bertemu, rindu
itu pasti ada.
Mumpung
hari ini mau ngobrol sama Mas Pardi, aku ceritakan saja mimpi ini. Siapa tau
dia bisa menebak mimpiku. dia kan dekat sama Pak Lurah, pasti Pak Lurah sudah
memeberi tahu banyak hal kepada Mas Pardi. Tidak seperti aku tak tau apa-apa.
Aku
berangkat kesawah seperti hari-hari biasa, membawa cangkul dan gorengan buatan Ibu.
Berjalan menusuri rumah-rumah warga tanpa sapaan atau candaan apapun. Lalu
duduk dibawah pohon beringin sambil menikmati gorengan dan hijaunya hamparan
sawah. Anganku mulai melayang-layang.
Andai
Bapak tidak keluar waktu itu, mungkin hidupku sudah seberuntung Mas Pardi. Bisa
dikenal dan dekat dengan banyak orang.
Sekarang mau mati tak berani, mau hidup tak kuat. Untung ada Ibu yang selalu
dibalik layar keluku, dialah orang yang selalu mengajariku kata semangat.
Tiba-tiba
lamunanku di buyarkan oleh bisikan Mas Pardi
“Ada apa min, sepertinya
kau sangat resah”
“Eh kamu mas, apa yang terjadi 3
tahun silam”
“Panjang min, kerusuhan
terjadi di kota. Katanya, para anggota PKI membunuh beberapa jendral negera
kita min. suasana menjadi kacau, semua orang takut atas kekejaman PKI”
“Lalu apa hubunganya
dengan Bapak ? dia tidak membunuh jendral manapun mas, kalo membunuh kodok
di sawah baru mungkin”
“Hehe, ya semenjak
pembunuhan para jendral semua anggota dan orang-orang yang bersimpati kepada
PKI juga ikut dIburu
min”
“Bapak
bukan anggota bahkan bersimpati Mas, saya rasa Bapak juga tidak tau apa itu
PKI. Kalaupun benar PKI membunuh beberapa jendral kenapa harus belas dendam
dengan memburu semua anggota bahkan samapai dikampung mas ? kok beberapa
dibalas dengan semua ? ini tidak adil”
Pardi
tidak menyangka dengan pola pikir Sarmin sejauh itu untuk ukuran anak desa yang
dikucilkan.
“Yaa aku paham min, kita
rakyat kecil tau apa si soal keadlian. Yang bisa dilakukan ya seperti ini,
bekerja keras dengan segala kemampuan”
“Hmm, benar kerja keras.
Oh iya, Pak Lurah sudah tiga kali datang kerumahku mas”
“Hah ! ngapain dia ke
rumahmu min”
“Aku tak paham betul
perbincangan Ibu dan Pak Lurah tapi kemungkinan si Pak Lurah tertarik dengan Ibuku.
Ini yang menjadikan aku curiga, disaat seluruh orang kampung mengucilkan
keluargaku tapi Pak Lurah malah mencuri kesempatan untuk meminang Ibuku ?”
“Kenapa harus curiga min,
enak too nanti punya Bapak baru seorang lurah, hehe”
“Bukan seperti itu mas, kau masih ingat dengan jejak
sepatu yang di temukan di dekat area Bapak hilang, saya curiga Pak Lurah yang
menyuruh orang untuk menculik Bapak, lalu Pak Lurah bisa bebas meminag Ibuku
yang kini menjadi seorang janda”
“Husst kau ini min, tak
baiklah berbicara sesuatu yang belum tentu benar salahnya”
“Entahlah, semoga semua
baik-baik saja ya mas”
“Aku langsung ke sawah ya
mas,
soal Pak Lurah tolong jangan disebarkan biar kita saja yang tahu”
“Baik min”
Ucapan
Sarmin memang ada benarnya, Ibunya cukup cantik usianya juga Masih mudah tak
heran jika Pak Lurah kesemsem dengannya. Di kampung ini juga hanya Pak Lurah
yang tahu menahu soal data penduduk. Tapi apa mungkin Pak Lurah bertindak
seperti itu demi seorang perempuan. Lagi pula Pak Lurah juga punya istri
walaupun sampai sekarang belum di karuniai momongan.
Pardi
jadi teringat kejadian 3 tahun silam ketika usinya menginjak 15 tahun. Dia
bersama Bapak dan Pak Lurah berjalan-jalan diarea sawah. Tujuanya si mau ngecek
sawah milik Pak Lurah. Disitu ada pak Sarkiman yang sedang sIbuk membereskan saluran
air. Entah apa yang di obrolkan Pak Lurah dengan Pak Sarkiman. Pardi tak
sempat mendengar perkataan dari keduanya.
Apa
itu ada hubungnya dengan yang dikatakan Sarmin tadi ? ah, aku jadi ikut terbawa
pikiran si Sarmin. Tapi tak mungkin kuceritaan hal ini kepada Sarmin dalam
kondisi seperti ini. Emosinya Masih labil, aku takut terjadi apa-apa kalau benar Pak Lurah dalang
dibalik kematian Pak
Sarkiman.
Sejujurnya
aku kasihan pada si Sarmin, seharusnya dia bisa menikmati masa mudanya untuk
mencari ilmu dan bermain dengan anak-anak desa. Dia begitu baik, hatinya tulus
dan kurasa dia juga cukup cerdas. Namun apalah daya, dia terlanjur di cap
sebagai keluarga penghianat. Aku juga tak bisa berbuat banyak, yang kulakukan hanya
mendengarkan ceritanya dan memberi sedikit harapan-harapan.
Langit
sudah mulai memerah, burung-burung juga sudah bergerak pulang ke pohon-pohon
tempat dia bisa bertukar kasih. Selesai membersihkan diri di kali aku harus
bergegas pulang, hari ini malam jumat. Aku ingin memberi hadiah yasin kepada Bapak.
Siapa tahu dia datang kerumah untuk
menengoku dan Ibu.
Adzan
maghrib dikumandangkan Mbah
Sabrang.
Kini tak selantang dulu, suaranya semakin merintih, nafasnya pun semakin
pendek. Andai aku bisa menggantiakn mbah sabrang sebagai muadzin di musola,
sepertinya seru. Aku bisa ikut mengingatkan warga kepada Gusti Alloh.
Selepas
sembahyang
dan mengaji tiba-tiba Pak Lurah datang lagi ke rumah. Kali ini dia membawa beberapa
bingkisan. Aku semakin curiga dengan kondisi seperti ini, ketakukanku juga
memuncak. Jangan-jangan ini akal-akalan Pak Lurah untuk menghabisi keluargaku
lagi, hal ini memicu
kebencianku dengan lurah satu ini.
Aku
mengawasi setiap gerak gerik Pak Lurah dari arah dapur. Kebetulan ruang tamu
dan dapur tidak ada skat yang membatasi jadi aku bisa bebas melihat setiap
pergerakan Pak Lurah. Kalau Pak Lurah
macam-macam sama Ibu aku bisa langsung menegurnya. Tapi sayang, aku tak bisa mendengar jelas
obrolan mereka.
Tiga
puluh menit berlalu, Pak Lurah berdiri untuk pamit, setelah tak lagi terlihat
punggungnya Sepontan aku langsung menemui Ibu.
“Apa yang diminta Pak
Lurah bu”
“Bukan apa-apa le, hanya
ngasih berkat. Habis sukuran katanya”
“Lain kali kalo datang malam-malam
jangan di terima bu, aku takut ada omongan yang tidak-tidak ke keluarga kita”
Aku
beranikan diri berbicara selancang itu dihadapan Ibu.
“Iya le”
Sejujurnya aku tak tega melihat Ibu, dia tak punya teman berbincang, tak pernah
bersosialiasi dengan warga, yang dilakukan hanya mengurus rumah dan membatik. Ibu
begitu kesepian, teman berbincangnya hanya aku itupun kalo malam hari, di siang
hari aku harus ke sawah.
Pada malam malam terntu sering kulihat tangis Ibu,
entah apakah dia rindu dengan sosok Sarkiman atau rindu akan kehidupan yang
normal. Aku tak berani bertanya, yang kulakukan hanya menenangkan dengan
cerita-cerita unik di sawah.
Selain itu, semenjak kepergian Bapak rumah kita
menjadi begitu sepi, hanya Pak Lurah yang pernah bertamu kemari. Terkadang aku
merindukan tamu, bagi orang Jawa tamu adalah keberkahan. Tapi aku tak bisa
terus menerus membiarkan Pak Lurah datang dimalam hari seperti ini.
****
Sebulan berlalu, kini hampir setiap minggu Pak Lurah
datang kerumah. Tepat di malam jumat di munggu terkahir aku ingin menegur Pak
Lurah untuk tidak bertamu di malam hari, dan benar saja Pak Lurah datang lagi
kerumah.
Seperti biasa Pak Lurah kuawasi dari dapur. Aku hanya
penasaran pada apa yang sebenarnya mereka obrolakan, sering kali Pak Lurah
terlihat tertawa tapi tidak untuk Ibu. Ini menunnjukan bahwa sebenarnya Ibu
risih dengan kedatangan Pak Lurah.
Ibu hanya berbicara satu dua kata, kalau tidak yang mengangguk
dan menggeleng.
Semakin sering kerumah lagak dan gerak Pak Lurah
semakin tidak punya tata karma. Terkadan dia masuk tanpa salam lalu meminta
jamuan yang diinginkan dan terkadang dia duduk tidak berhadapan dengan Ibu tapi
malahan duduk di samping Ibu. Seperti yang sekarang sedang ku amati, kalau Pak
Lurah berani menyentuh Ibu akan ku hajar mukanya.
Pak Lurah mengeluarkan sesuatu dari sakunya,
sepertinya itu sebuah cicin. Lalu Pak Lurah tanpa basa basi langsung memegang
tangan Ibu. Spontan aku langsung berdiri, tapi…
“Duaaarrrr !!”
Tiba-tiba pintu rumah kami didobrag sampai roboh. Sekitar dua orang langsung masuk
ke rumah dan melihat tangan Pak Lurah masih memegangi Ibu. Ah dugaanku benar,
warga pasti ada yang melihat kedatangan Pak
Lurah di gubukku jadi mereka berenca mengikutinya untuk menggrebek kami. Kini
apa yang aku takutkan akan benar-benar terjadi, matilah aku.
“Dasar janda komunis, berani-beraninya kau menggoda Pak
Lurah yang sudah beristri, biadab”
“Pelet apa yang kau pakai”
Aku Masih terdiam didapur menyaksikan kejadian itu, Ibu
tak bisa berkata apapun hanya menangis sejadi-jadinya. Dia menunduk lalu beberapa detik menatapku. Suasana begitu
gaduh semua kata-kata yang paling kotor bisa terdengar di rumahku, hal ini
memancing warga kampong untuk melihat apa yang terjadi.
Pak Lurah tidak
membela Ibu dia langsung pindah posisi bersama warga seolah-olah dia memang digoda,
cincin yang tadi dikeluarkanya entah di
kemanakan.
Tak terima dengan perlakuan mereka aku berlari ke arah
meja tamu, namun belum saja sampai, tiba-tiba sebuah tongkat mengenai pelipis
mataku.
“Plaaaak” pikiranku hilang sejenak, aku terjatuh tepat
di hadapan Ibu, yang kurasakan hanya ada darah yang mengalir di area wajahku.
“Ibu tak bersalah. Pak Lurah yang setiap malam jumat
datang kemari tanpa diminta Ibu”
“Diam kau ! kami tak butuh penjelasan anak PKI”
“Plaaakk” lagi lagi tongkat melayang, kini tepat
mengenai punggungku.
“Sarmin !! ku dengar teriakan Ibu memanggilku
“Pak Lurah, jelaskan apa yang terjadi” tekan Ibu kepada lurah brengsek
itu.
“Kau juga, tutup mulutmu !”
Posisiku masih tengkurap dihadapan Ibu. Aku sadar dan masih
bisa mendengar setiap kata yang para warga ucapakan serta suara tangis Ibu tapi
aku tak begitu bisa melihat, mataku sakit sekali. “Mas Pardi kau benar, mimpi itu
bisa jadi melapetaka jika aku menghianatinya, tapi aku membenci Pak Lurah
karena dia membahayakan keluarga. Mas datanglah, aku butuh bantuan”
“Sudah bakar saja dua manusia itu”
“Buang saja di kali, biar dimakan bauaya”
“Dasar penghianat”
Kemudian aku diberdirikan oleh dua orang lalu diikat
dan mataku di tutup dengan kain. Aku tak tau apa yang akan mereka perbuat, yang
jelas tubuhku dituntun berjalan kearah luar. pikiranku hanya tertuju kepada Ibu.
“Sudah min,
kita sudah berakhir” suara rintihan Ibu terdengar begitu memelas. Aku tak bisa
melihat kondisinya, dia hanya terdengar menangis dan meminta ampun.
Aku hanya mengikuti saja arah mereka. Bukan kami pak, Pak
Lurah yang setiap malam jumat bertamu, hal itu sudah terjadi semenjak hilangnya
bapak. Tapi bukan Ibu yang menggoda, Ibu tak seperti itu.
Perkataanku tak digubris oleh mereka.
Setelah berjalan beberapa meter aku bisa merasakan
bahwa sekarang posisiku sudah di luar gubuk dan dikerumuni orang. Tanpa aba-aba semua warga
yang ada disitu memukuliku sampai rasa sakit itu tak kurasakan, tubuhku juga
terasa basah entah itu air kencing atau ludah aku tak tahu, keadaanku anatara
sadar dan tidak. Lalu selang beberapa menit semua terdiam dan kain dimataku
juga di buka.
Ku dengar tangis tersedak-sedak dari Ibu, suarnya begitu dekat. Benar saja Ibu sudah
duduk menyinden di sampingku, dia hanya
menggunakan kemben mukanya menunduk. Mungkin selama aku tak sadarkan diri Ibu
ditelanjangi oleh orang-orang kampong tapi aku tak tau apa telah yang mereka
perbuat di dalam gubuk.
“min, maafkan Ibu”
“Haha, mampus kau anak PKI dan janda tak tau diri,
sudah di untung dulu kami tak mengusir dan merebut sawah milik Bapakmu,
sekarang berani-beraninya kau goda orang yang sudah punya istri”
“tanggung kang, buang saja ke sungai”
Malam jumat itu lagi sepi, tak ada suara jangkrik
dengan nyanyian tunggalnya,. Semuanya hanya kata-kata kotor dan hinaan yang
terus di lontarkan warga, pukulan demi pukulan masih melayang di tubuhku
walaupun tak sebanyak tadi.
kini tubuhku diangkat lagi, dan ditutupkan kain itu
lagi kemudian dipanggul dan dibawa. Diarak seperti maling, kudengar tangis Ibu
membuntuti. Kami berjalan menyusuri jalan gelap, melewati beberapa rumah lalu
menuju hutan dekat didekat desa.
10 menit berjalan, melewati semak-semak, terus
berjalan. Aku hanya pasrah, tubuhku tak lagi berasa apapun. Ibu tak lagi menangis,
mungkin mulutnya sudah di bungkam kain atau disudah menyerah layaknya aku.
Warga juga sepertinya sangat hati-hati membawa kami. Hampir
tidak terdengar suara, aku tak tau Pak Lurah ikut membawa kami atau tidak.
Suarnya belum terdengar.
Akhirnya berhentilah kami, gemercik air mengalir menjadi
penanda bahwa kami didekat sumber air. Aku ditidurkan tengkurap. Begitupun Ibu.
”Mari kita selesaikan orang-orang ini”
“salah satu mencari batu, dan bambu”
Mereka berkordinasi layaknya pembantai kelas kakap, dalam
benak. Jadi siapkah yang kejam ? PKI atau warga warga ini ? mereka tak punya
rasa kemanusia, membunuh dengan siksaaan seolah-olah mereka adalah Tuhan yang
berhak menentukan kapan nyawa harus pergi.
Tak lama kemudian kedua tangan kami diikatan kesebilah
bambu membentuk salib, lalu di bagian perut
diikatkan batu yang cuku besar.
Semua dilakukan oleh warga tanpa penolakan dariku, termasuk Ibu dia sudah tak
lagi bersuara semenjak berjalan beberapa meter dari rumah.
Kami kembali di gontong kemudian dilempar…
“Buaaarrr”
Matilah kau komunis !
mantap , endingnya kurang greget
BalasHapus